Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Istri Baru Papa (Part 1)

Papa, ternyata tak seindah imajinasi yang berpacu di pikiranku. Papa sama seperti lelaki kebanyakan lainnya. Tidak setia. Kepada siapa sosok pria idaman harus kusematkan sebagai salah satu figur yang nantinya menjadi gambaran pasangan hidupku. Tentunya nama papa otomatis tercoret bersamaan hadirnya rombongan keluarga Bu Sara.

"Eiya, salim dong sama Bunda," colek Bude Harni menggiyut dengan lengan kanannya sementara lengan kiri menopang Hanan yang tertidur di gendongan.

Aku bergeming.

Bunda? Enak saja.

"Eiya, ayo dong. Ndak sopan loh kalau begitu," tukas Bude. Kali ini ia mulai agresif mendorong bahuku maju.

Wanita dengan balutan gamis berwarna peach itu nampak tersenyum dengan tubuh sedikit menunduk, lalu mengusap pipi kananku.

Aku hampir mundur menghindar. Lalu tatapan tajam eyang yang penuh isyarat membuatku urung melakukannya.

Semua bahagia dengan pernikahan Papa. Tidak ada yang peduli dengan luka yang kumiliki dengan berlangsungnya pernikahan ini, juga Bubun. Tidak juga Papa. Shit. Papa sama saja.

------------------------------------------------

"Harusnya Sara sudah bisa tinggal bersama Reihan sejak hari ini. Kan sudah sah. Tapi mungkin sebaiknya menunggu walimah dua hari lagi ya," ucap salah seorang lelaki paruh baya yang datang bersama rombongan perempuan.

Aku tak mengenalnya.

Eyang dan keluarga Papa tersenyum mengaminkan.

"Masih sabar toh Rey," goda Pakde Wisnu dengan ekspresi yang genit.

Aku benci Pakde Wisnu. Diantara keluarga Papa, Pakde Wisnu dan Bude Harni yang punya andil besar dalam pernikahan baru Papa.

Dan Papa terlihat tersenyum menanggapi obrolan itu. Ah benar, Papa sama saja. Aku semakin kehilangan perasaan padanya. Papa tak menghargai aku dan Bubun.

----------------------------

Sepi.

Rasa yang tak pernah hadir dalam kehidupanku sebelumnya. Terutama saat Papa dan Bubun masih saling menyayangi di rumah ini. 

Hiks, Bubun. Air mataku menetes.

Aku tak akan sanggup melupakan Bubun. Apalagi secepat ini. Seperti yang dilakukan Papa. Kupandangi wajah manisnya dengan senyum khas ala Bubun. 

"Bun, Eiya rindu," aku terisak lirih.

Sebuah tubuh tegap tampak memperhatikanku. Dengan perlahan langkah itu menuju ke arahku. Aku refleks menarik handel pintu lalu segera masuk ke dalam, mengancingkan gerendel agar tak ada yang dapat mengakses aku dengan jutaan sesak dan airmata. Tidak, aku tak suka dilihat menangis. Aku kuat, itu kaya Bubun dan begitulah aku.

"Eiya, "Ketuk Papa dibalik pintu.

Kuhela nafas panjang. Tak ada sahutan yang keluar dari lisan.

"Baiklah Nak, Papa di kamar sebelah ya. Love Eiya," ucap Papa menghentikan ketukan yang sia-sia. Iya, sia-sia. Karena aku tak hendak membalas pesan cinta itu seperti biasanya.


Maaf, Pa. 
Hubungan kita, end.

------------------------------------------

"Eiya, bangun Gadis Kuat Bubun....,"

Aku tersentak.

Ah Bubun. Alarm ini saja sudah mengobati kerinduanku. Padahal belum sebulan kita tak bertemu.

Di tepi ranjang, kupeluk foto Bubun. Hangat. Tetesan airmata jatuh satu persatu. 

"Eiya janji, Bun. Eiya akan kuat, seperti harapan Bubun," sahut jiwaku.

Kulangkahkan kaki menuju kamar mandi. Segarnya air menghapus sisa airmata yang membasahi wajah. Kulongokkan tubuh ke kaca. Syukurlah, mataku masih terlihat normal. Tak mungkin aku pergi dengan mata bengkak lebam. Aku Eiya, yang kuat.

Semua perlengkapan sekolah sudah aku bereskan. Ah iya, hampir lupaaaa. Sikat rapat dan plastik klip. Kumasukkan benda penting itu dan membungkusnya dengan lampin putih bersih milik Bubun. Semoga misi berjalan sempurna.

------------------

"Loh, Eiya berangkat ke sekolah hari ini?" Kaget Eyang saat melihatku di dapur hendak sarapan pagi. Matanya memicing. Lalu ekor matanya mencari objek ke arah selatan.

Aku meneruskan aktivitasku memasukkan dua potong roti bakar ke dalam wadah. Menutupnya dan meraih porselen datar berisi nasi goreng telur orak-arik. Nasi goreng sederhana dengan margarin, bawang putih dan kecap asin ini persis buatan Bubun. Hanya saja tak ada daun bawang yang melengkapi warnanya. Sepi. Seperti hatiku.

"Eiya boleh berangkat ke sekolah. Tapi nanti segera pulang dijemput Lik Wanto langsung ke Tante Ninis," suara bariton Papa menegaskan pertanyaan Eyang yang tertunda.

Huff. 
Aku enggan meneruskan fitting baju. Padahal mau seindah apapun bila hati sudah tak suka tak akan bisa dipaksakan. Eiya anak kuat. Eiya bisa mengendalikan diri. Ah Bubun, jangan terlalu berharap padaku. Eiya rapuh, Bun.

-----------------------------------------------

"Bagaimana, suka tidak nasi gorengnya?"  Tanya Papa sambil menggerakkan setir menuju sekolahku.

Hening.
Aku memilih tak menjawab.

"Maafkan Papa Eiya.
Papa tau banyak prasangka Eiya terhadap rasa cinta Papa untuk Bubun.
Eiya jangan kuatir. Semuanya rapi tersimpan disini," ucap Papa sambil menunjuk dadanya.

"Setiap perpisahan, pertemuan sudah diatur oleh Allah,
Seperti kebersamaan dengan Bubun dan hadirnya Bunda Sara.

Hingga peristiwa tadi malam pun, bila bukan kehendak Nya tentunya tidak akan terjadi.

Kita tidak bisa mendikte taqdir Allah," Papa menghentikan laju Honda Civic ke tepi jalan.

"Papa harus ridho, bila sebelumnya Allah taqdirkan menjalani hari bersama Bubun dan Eiya. Dan ridho pula dengan ketentuan Allah untuk memimpin rumahtangga saat ini bersama Bunda Sara, Eiya dan Hanan," sambung Papa.

"Stop Papa, Eiya ingin cepat-cepat sampai ke sekolah," potongku.

Papa benar-benar tidak punya perasaan. Aku tidak butuh diceramahi. Taukah Papa aku sedang terluka, butuh diobati. Bukan narasi yang hanya menambah luka hati.

Papa terkesiap. Ia mulai menghidupkan mesin mobil dan melanjutkan perjalanan. Tak ada canda seperti yang kerap kami lakukan sebelumnya. Bahkan saat Bunda pergi, aku dan Papa masih merasakan hangatnya momen bersama. Hingga sepekan lalu keputusan pernikahan sepihak itu. 
Iya sepihak. Karena aku tidak dilibatkan. Bukankah perasaanku juga penting untuk dipertimbangkan.

----------------------------------------------------


19 komentar untuk "Istri Baru Papa (Part 1)"

  1. Bikin penasaran karena ada sambungannya. Ini cerita bersambung fiksi anak atau gimana?

    Bubun tidak terlihat jadi apakah sudah meninggal?

    Pernikahan ke sekian bagi anak akan menimbulkan luka bagi anak karena takut akan alami pengabaian.

    BalasHapus
  2. Apa ya kelanjutannya? apakah sudah ada kak? apakah ayah dan ibunya bercerai? tidak ada sosok ibu (bubun) yang hadir

    BalasHapus
  3. Cerita yang bikin penasaran.. ini salah satu bagian dari novel kah? Mzasih pensaran di mana Bubun dan mengapa kejadiannya jadi seperti itu.. namun sosok sara yang ditampilkan sepertinya tidak antagonis ya

    BalasHapus
  4. Hikss sedih memang kadang manusia dewasa egois tidak mencoba melibatkan anak2 apalagi kalau salah satu meninggal yg satunya menikah lagi...

    Kasian anak2 blm tentu cocok dg orang tua barunya. (Gusti yeni)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hiks betul...
      Anak harus dilibatkan ketika salah satu dari orang tu akan menikah lagi.
      Karena anak akan ikut menjalani...

      Hapus
  5. Kok ikut larut dengan perasaan Eiya ya. Pada kenyataannya banyak kejadian seperti ini. Tidak menempatkan anak pada posisi sebagai manusia yang punya perasaan, yang butuh didekati secara manusiawi, bukan ujug2 melihat salah satu orang tuanya menikah dan mereka dipaksa untuk membuka hati .. padahal tak semudah itu ... Ooh, Eiya, andai kamu nyata, semoga Allah mengajarimu katabahan dan keikhlasan ya.

    BalasHapus
  6. Bikin penasaran nih ceritanya..
    btw di dunia nyata juga, ketika seoranga ayah atau ibu memutuskan untuk menikah lagi, entah karena pasangan sebelumnya sudah diceraikan atau ditinggal meninggal, keputusan untuk mendapatkan Ayah atau Ibu baru memang harus dibicarakan dengan anak.. Jangan sampai mereka menyimpan rasa yang rasa itu bakal ganggu tumbuh kembang mental si anak..

    BalasHapus
  7. Ini cerbung atau novel ya Mbak?

    Itu gemes sama si Papa, kok begitu ... walau menikah itu akan menjadi keputusan orang tua namun anak juga harus disertakan dalam berpendapat. Eh, kok agak kesel ya padahal ini fiksi :D

    BalasHapus
  8. Duuuh, kl jd Eiya gimana rasanya? Tentu saja campur aduk. Uhuhu
    Semoga di luar sana para orang tua dan anak bisa saling memahami dan mengerti satu sama lain apapun keadaannya. Laaah jadi ikutan gregetan😭

    BalasHapus
  9. Lanjut part 2 ya.
    Maybe awalnya eiya menolak ya. Tapi bisa saja di akhir cerita eiya suka dengan takdir yang telah Allah tuliskan.

    BalasHapus
  10. Kasiann yaaa kok q sedih jadi anak tsb terluka kehilangan mama kandung eeeh ga lama hadir mama baru. (Gusti yeni)

    BalasHapus
  11. Saya bisa paham nih Mba perasaan Eiya. Walau tidak merasakan langsung, tetapi ada kenalan yang mengalami hal serupa. Saat sang ayah menikah lagi setelah kematian ibunya yang belum genap satu tahun, sang anak merasa dikhianati. Padahal luka ditinggalkan ibunya masih membekas.

    BalasHapus
  12. Nungguin part 2nya ini. udah b olak balik ke blognya, moga dapat inspirasi yang baik dalam menulis cerita dan menyampaikan pesan yang bermanfaat bagi semua

    BalasHapus
  13. Membaca ini dengan perasaan campur aduk. Saya nyarisssss pernah mengalaminya saat saya masih berusia 6 tahun di mana saya dipaksa berkenalan dengan seorang perempuan yang hampir saja menjadi istri baru ayah. Qadarullah, Allah SWT masih menjaga rumah tangga ayah dan ibu sehingga keduanya tetap bersama sampai 37 tahun pernikahan sekarang. Pad cerita ini tentu harus ada lanjutannya. Apakah Eiya adalah anak tanpa ibu atau anak dari orang tua yang bercerai?

    BalasHapus
  14. di satu sisi mungkin papanya melakukan ini untuk mengurai kesedihannya, agar tidak begitu atau terus-terusan bersedih atas kehilangan istrinya, namun di satu sisi hal ini malah menyakiti anaknya, dimana harusnya tetap dilibatkan untuk mengambil keputusan menikah lagi

    BalasHapus
  15. Kalau aku jadi Eiya, mungkin sikapku akan sama persis ya..
    Soalnya bagiku, butuh waktu yang cukup lama untuk bisa menerima datangnya sosok baru di kehidupan kita yang akan menjadi orang yang wajib ditaati.
    Sang papa seharusnya juga meminta pendapat Eiya saat memutuskan ingin menikah lagi. Karena walau bagaimanapun perempuan yang ia nikahi juga akan masuk dalam kehidupan Eiya.

    BalasHapus
  16. Patah hati sekali baca kisahnya. Jadi sensi sama para anggota keluarga si Papa yang nggak mencari tahu perasaan Eiya bagaimana.

    BalasHapus
  17. Pastinya ketika salah satu orang tua menikah lagi ketika anak masih kecil, akan berpengaruh ke inner child ya mbak. Saya ini lagi mempelajari inner child jadi tulisan mbak ini menurut saya relate dengan inner child juga

    BalasHapus
  18. Penasaran, si papa gimana yaa perasaannya tahu Eiya begituu.
    Eiya pastinya juga mau ngomong pekewuh kalo dalam bahasa jawa ya ngga sih kak?

    BalasHapus