Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ade dan Menikah

 
Menikah/www.jejakbunda.com



"Mba Ras, Ade mau nikah," 

Kupandangi wajah perempuan yang duduk di depanku.  Ia Ade, adik  perempuanku  satu-satunya. Tangannya mengibas helaian rambut yang keluar dari balik jilbabnya. Sesekali kulihat matanya keatas lalu tunduk kebawah lagi.

"Mba Ras, muka Ade cantik ?"

"Cantik," jawabku dengan senyum tertahan.

"Muka Ade ada setannya ?" 

Ia mengulang pertanyaan kembali lalu sejurus kemudian memeletkan lidah 

Weeeeeeek

Weeeeeeek


Petang berlalu menghampiri berganti semburat jingga. 

"Lari, De. Cepat" ujarku terengah-engah seraya memutarkan kepala kebelakang memberikan isyarat agar adikku segera lari menyusul.

"Tunggu Ade Mba Ras, 
nanti Ade diculik pickup" jawab Ade dengan nafas satu-satu.

Ade memang cukup penakut. Salah satu yang ia takuti adalah hantu dan juga mobil pickup. Di kampung kami, mobil pickup masih sangat jarang.

Ketakutan Ade pada pickup disebabkan karena pernah tertinggal di dalam bak mobil saat tertidur dan terbangun saat mobil sedang bergerak maju. Ia fikir ia sedang diculik. Ketakutan anak kecil di masa kami adalah penculikan.

Mamak memang memiliki banyak anak. Ada 10 orang. Empat dari pernikahannya dengan suami pertama, dan Lima dari pernikahan dengan bapak. Satu abang kami adalah anak bawaan bapak dari pernikahan sebelumnya

Mamak dan bapak bertemu saat bapak kerja di Belawan dan mamak menjual dagangannya. Janda bertemu duda. Dan setelah beberapa bulan Ade lahir, mamak kembali menjadi janda dan mengurus kami bersepuluh sendirian.

Jumlah anak yang begitu banyak membuat mamak berjualan lebih keras untuk menghidupi kami. Ade memang senang bertandang ke rumah orang. Karena kuatir kami pergi kelayapan, mamak sering menakut-nakuti Ade dengan culik. Dan memang itu sangat ampuh untuk membuat Ade bertahan dirumah karena takut.

Hidup terbatas membuat kami sudah bekerja sedari kecil. Aku menumpang di rumah bibi sambil berdagang minyak lampu. Biasanya aku tuang kembali kedalam botol agar mudah dijual kembali. Sesekali Ade kubawa menjinjing jerigen karena rumah bibi pun tak jauh dari rumah mamak.

"Mba Ras, Ade mau nikah," ujarnya saat kami berjalan menenteng jerigen minyak yang sudah kosong.

"Sama siapa?" tanyaku sekena

"Sama laki-laki lah. Kayak bapak," jawabnya pelan

"Emangnya bapak kayak apa?

Ade kan belum pernah ketemu bapak," sahutku asal

"Iya, Ade memang belum pernah ketemu bapak,

Tapi bapak pasti orang baik,
Kata orang-orang, orang baik itu meninggalnya cepat," terang Ade.

Ah Ade. 

Usiaku jelang tiga tahun saat bapak pergi. Tapi aku pun tak begitu mengingat sosok bapak dengan jelas. Apalagi Ade.

Bapak berjualan rokok di Belawan dekat pelabuhan. Banyak supir dump truk yang menjadi langganan kios bapak. Apalagi kalau sedang banyak bongkar muat barang. Itulah sebabnya bapak jarang lama di rumah. 

Aku selalu tanda kalau bapak dirumah lewat batuknya yang khas. Kadang batuk yang khas dan keras itu membangunkan tidur malamku. Bapak menderita TBC. Dan karena penyakit itulah usia bapak tidak panjang. Begitu kata mamak.

Usai kepergian bapak, kehidupan kami semakin sulit. Beberapa menumpang di rumah saudara. Seperti aku yang akhirnya ikut nenek. Dan kembali pindah menumpang ikut bibi karena nenek meninggal saat usiaku 10 tahun.

Aku sebenarnya benci menumpang. Kepalaku sering dikeplak Darto anaknya Mamang Gin. Kupendam perasaanku walaupun aku kesal sekali. Ingin kubalas tapi aku hanya menumpang. Tak mungkin mengadu ke mamak. Hidupnya sudah terlalu kepayahan.
 
Dadi wong kere, sopo sing arep nerge


Mamak punya tiga anak perempuan. Selebihnya laki-laki. Ade paling dekat denganku dibandingkan Mba Yat. Usia kami memang terpaut lumayan jauh dari Mba Yat. Setelah Mba Yat lahir, mamak melahirkan Mas Toto dan Mas Mirwan.

Ade selalu ikut kemana aku pergi. Sesekali ia membantu mamak berjualan. Di lain waktu ia membantu usaha kecil yang dilakoni Mas Toto. Tapi tidak bertahan lama. Ade kembali merengek minta ikut kerja bersamaku.

Hingga suatu hari akhirnya aku menikah dan dibawa pergi keluar daerah oleh Bang Fajar. Ade tampak sedih. Ia lama memandangi kami.

" Mba Ras, Ade ingin nikah dari dulu. Tapi mba malah duluan," rengeknya.

Aku cuma tersenyum.


"Mamak gak setuju Ade ikut kamu, Ras" ujar Mamak membelakangiku.

"Ade luntang-lantung Mak. Dia bilang dari pada cari kerja di tempat lain gak betah.

Ade juga butuh uang saku, " tukasku 

Mamak datang ke rumah. Setelah setahun lebih berada di luar kampung akhirnya aku dan suamiku memutuskan untuk kembali. Aku membuka warung kecil-kecilan agar tetap bisa mendapatkan penghasilan tambahan selain yang diberikan Bang Fajar.

Gaji Bang Fajar memang besar kalau sedang ada objekan. Tapi kalo sedang kosong, tabungan yang kusimpan pun kandas tak berbekas. Bahkan kalung emas milikku tergadai untuk makan sehari-hari. Rejeki harimau.

"Tapi tidak elok rasanya Ade ikut ke rumahmu, " mamak menghela nafas panjang.

Sebenarnya aku belum butuh dibantu Ade. Tapi Ade selalu meminta ikut dan terpikir olehku daripada mengeluarkan uang untuk mengupah orang lain lebih baik untuk adikku sendiri.

Ade memang keras kepala dan manja. Semua yang ia inginkan harus ia dapatkan. Terkadang ia merengek dan meminta bagian milikku. Membuat jengah. Tapi sudahlah. 

Uang bisa dicari, yang penting adalah harga diri


Ini prinsip yang ditanamkan Mbah padaku. Banyak hal yang aku dapatkan saat aku bersama Mbah. Mbah pekerja keras dan sangat ulet. Mbah mengajariku banyak hal. Salah satunya keahlian berdagang. Walaupun tidak mengecap bangku sekolah tapi aku mampu berdikari seperti yang lainnya.

Tinggal di kampung halaman dan memiliki usaha yang laris adalah impianku. Alhamdulillah sedikit demi sedikit aku bisa membeli rumah dari keuntungan usaha. Tapi kesuksesan ini membuat Bang Fajar menjadi malas mencari nafkah. Toh semua sudah ada. Begitu katanya.

Aku dan Ade saling berganti shift menjaga toko. Kadang Bang Fajar menemani kadang ia memilih tetap di rumah. Aku sebenarnya jengah. Tapi sudah ada empat anak yang harus aku perjuangkan. Mereka harus bersekolah tinggi.

Biarlah kepala jadi kaki dan kaki jadi kepala, agar nasib mereka lebih baik dari yang aku punya


"Mba Ras, Ade mau nikah, "

Mataku basah. 

Akhirnya terungkap kebenaran dari gelagat aneh antara Ade dan Mas Fajar. Aku terluka. Sungguh tega kedua orang terdekatku mengkhianati aku. Tapi memang ini salahku. Tidak meleset larangan yang mamak sampaikan padaku dulu.

"Lepaskan saja aku, Bang.

Pergilah dengan Ade ke tempat lain. Biarkan aku dan anak-anak tinggal disini, "

Tangisku berderai.

Aku lupa apa yang diucapkannya selain maaf. Tapi setelahnya memang ia memilih tidak pergi dari rumah. Sedangkan Ade bekerja ikut temannya di rumah pasangan suami istri dokter di kota.

Tahun demi tahun berlalu.

Ade kembali tinggal bersama kami karena Bang Fajar tidak cocok dengan asisten rumah tangga kami yang baru. Anak-anak pun sudah terbiasa diurus keperluannya oleh Ade.

Aku sakit liver.

Dalam sebuah momen dimana aku merasa ajal terasa dekat sekelebat bayangan anak-anak kami muncul. 

Tidak, duniaku boleh hancur. Tapi tidak dengan masa depan anak-anakku. Sekuat tenaga aku bertekad untuk sembuh. Alhamdulillah, Allah masih memberi kesempatan kepadaku untuk melihat anak-anak sukses dan dewasa.

Aku tahu, Ade dan suamiku masih bermain di belakangku. Aku mencoba menutup mata. Aku tak boleh sakit dan lemah. Ada empat jiwa yang harus dijaga agar tumbuh benar menjadi manusia.

"Ade mau nikah, Mba Ras, "

Ade menangis. Usianya sudah hampir menginjak  kepala empat. Beberapa lelaki banyak yang ingin menikahinya tapi Bang Fajar marah dan mengusir mereka. Akhirnya para lelaki itu memilih mundur ketimbang berkelahi dengan Bang Fajar demi memperjuangkan Ade.

"Ade mau nikah, Mba Ras. Ade ingin punya keluarga sendiri, punya anak-anak sendiri seperti Mba Ras, "

Aku menatap Ade.

"Pergilah dari sini. Cari lelaki yang baik lalu Menikahlah. Jangan kembali sebelum bertemu lelaki yang serius menerimamu, "

Kugenggam tangannya. Lalu menatap wajah Ade lekat. 

Ade.
Betapa marah aku padanya, tapi ia tetap adik perempuanku satu-satunya. Rumah tanggaku memang tidak utuh karena kehadirannya, tapi kasih sayang dan cintaku sebagai kakak menghapus segalanya

Beberapa kali Ade berupaya mencari pasangan hidup tapi tidak pernah berlanjut karena selalu ada yang salah dalam pertimbangan suamiku. Aku tahu, ia belum terima bila Ade bersama orang lain. Tapi ia pun tidak mau melepas kami. Egois.

"Ade mau nikah? " Tanyaku beberapa bulan setelah Bang Fajar meninggal dunia.
Ada seorang duda ingin mencari istri karena anaknya semua sudah menikah. Usianya memang selisih hampir 10 tahun dari Ade. Sementara Ade pun kini sudah setengah abad.

Ade menggeleng.

"Ade mau nikah, Mba Ras. Mau cari sendiri. Mau bebas dengan pilihan Ade sendiri, "

Aku dan Mba Yat diam saja.

Biarlah, biar ia memilih untuk dirinya sendiri.

Mba Yat menghela nafas.

"Sudah setua ini, lebih enak menyenangkan diri. Hidup berumah tangga itu rumit. Tapi ya terserah yang punya badan saja, " Mba Yat menghela nafas kembali

Ade tampak tidak peduli.

Ia memainkan gawai lalu tiba-tiba menunjukkan sebuah foto.

"Ade mau nikah Mba Ras,
Ini calon suami Ade. Kami sudah lama kenalan. Orang timur tengah, " Ade tiba-tiba tertawa sumringah.

Mba Yat menatapku tajam.

Aku tahu Mba Yat kurang setuju dengan pola pikir Ade. Beberapa waktu lalu Ade menyampaikan ingin menikah dengan seorang duda dua puluh lima tahun. Mba Yat kuatir Ade dimanfaatkan dan diperdaya. Tidak lama memang usia pertemanan mereka. Tapi Ade tidak jera.

"Scammer itu, Tante, 
Hati-hati modus penipuan lewat internet saat ini, " ujar Anggita putriku sambil menimang anaknya.

Semua tidak setuju Ade berhubungan dengan lelaki yang katanya berasal dari Timur Tengah itu. Apalagi akhir-akhir ini Ade sering mengeluh dan minta uang terus-menerus hingga ketahuan berhutang dengan tetangga.



"Ade mau nikah, Mba Ras, "

"Boleh ya, tidak bohong kan, "

"Ade mau nikah, aduh takut banyak setan,"

"Mba Ras, sholawat ya, "

"Weeeeeeek,

Weeeeeeek,"

Mataku basah.

Betapa pedihnya kisah hidup Ade di penghujung usianya. Betapa banyak rasa sesal di hatiku. Ade, iya Ade. Adik perempuanku satu- satunya.

"Kunjungan sudah selesai, Bu," seorang perawat berseragam mengetuk pintu memberikan tanda.

Jelang Ramadhan yang pilu kusudahi pertemuan dengan Ade.
Mak, maaf Rasti tidak bisa menjaga Ade.
Menjaga Ade dan mimpinya menikah.


 

24 komentar untuk "Ade dan Menikah"

  1. Ceritanya bikin nggak berhenti baca.. tulisan yang menarik dan nggak bisa lepas sampai tahu akhir ceritanya...

    BalasHapus
  2. Kenapa sih tega malam-malam bikin nangis 😭😭
    Udahlah hujan deras. Rumah banjir. Menjelang tidur mau lanjut baca artikel kok ketemu ini sih 😞

    BalasHapus
  3. Cerita yang mengandung bawang...Dan kusuka dengan jalan cerita, pilihan kata, ...semua..
    Ya ampun dirimu memang selalu keren merangkai kisah, Mbak Shisca. Terima kasih untuk cerita indahnya.

    BalasHapus
  4. Ya ampun, ade.. Huhuhu
    Keren bgt alur ceritanya nggak bisa kutebak. Pilihan diksinya juga bagus bgt. Btw, jd ingat pas aku kecil juga takut dg mobil pickup. Teman2ku juga demikian. Karena ya biasanya kami nonton sinetron di tv2 byk penculik yg pakai mobil pickup. Hhhh

    BalasHapus
  5. Huhu, ceritanya mengaduk-aduk perasaan nih.
    Mbak jadi Ade ini dimana sekarang?🥲

    BalasHapus
  6. Aduh endingnya ternyata menyedihkan. Owalah Ade, Ade ...kok begini jadinya.

    BalasHapus
  7. Saat Emak bilang Ade jangan ikut Rasti, saya pun setuju. Dalam Islam, memang sebaiknya kalau adik ipar jangan ikut serumah dengan tanpa muhrim

    BalasHapus
  8. Keren sekali ceritanya Mba.. Memberi banyak pemahaman tentang hidup ya.. Semoga kita semua diberi kebijaksanaan dalam melangkah.. Amin

    BalasHapus
  9. bacanya kayak ada yang ngalir di perasaan dan otak saya kak, terenyuh karena saya punya adek perempuan juga. seorang kakak selalu ingin yang terbaik buat adeknya. tapi kalau serumah setelah menikah itu bisa jadi sumber masalah juga ya. Baca cerita akhirnya makin pilu rasanya.

    BalasHapus
  10. Moral of the story, setelah menikah memang sebaiknya hanya pasutri yang tinggal serumah ya. Menjaga dan menjauhkan dari hal tak diinginkan.

    BalasHapus
  11. Mantap ih mak sis buat cerpennya kalian berdua (sama mak ali) koq pande kali buat cerpen sebagus ini ya ;')

    BalasHapus
  12. Ya Allah cerpennya baguss kakk ikut sedih gemess membacanya, memang yaa adik perempuan kalau bisa jangan satu rumah dengan kita yaa

    BalasHapus
  13. Jadi ingat petuah ustad di pesantren dulu, jika sudah menikah jangan membawa adik atau siapapun tinggal dalam rumah tangga kita. Karena suami tanpa sengaja bisa membandingkan istrinya dengan perempuan tsb. Baca cerpen ini kk jadi teringat, udah berapa banyak adik sepupu dan ART yg pernah tinggal serumah utk bantuin kk awal2 melahirkan. Qadarullah dilindungi Allah dari yg macam2 ya. Semoga cerpen ini jadi pelajaran.

    BalasHapus
  14. Cinta tak selamanya indah, Dek. 😭 Gemes banget pas bagian yang selingkuh itu. Mbak Ras sungguh sabar.

    BalasHapus
  15. Aku orangnya gampang banget mewek atau trenyuh. Membaca cerita ini bikin sukses airmataku mengalir. Apalagi cerita tentang ketidaksetiaan atau pengkhianatan seperti ini

    BalasHapus
  16. Duh baca ini sampai selesai bikin baper banget. Alurnya keren banget gak bisa ditebak. Memang betul sih, setelah berumah tangga sebaiknya tinggal terpisah, menjaga hal2 yang tidak diinginkan.

    BalasHapus
  17. Ampun deh Adee.. Hiks. Paling pinter nih bunda bikin cerpen yang mengandung bawang.

    BalasHapus
  18. Aduh, endingnya membuatku tercengang. Rasanya ikut tercabik-cabik, tapi ya bagaimana lagi. Jalan hidupnya seperti itu. Toh seandainya di tengah cerita tokoh aku mengizinkan ade menikah dengan suaminya, aku malah gak setuju. 😁

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya nih, bisa banget bikin ceritanya, dalem banget penggambaran tokohnya nih

      Hapus
  19. Itu maksudnya, Ade menjadi kurang akal karena tidak menikah bunsis?
    Agak gak paham penyebab Ade dimasukkan ke RSJnya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku jg mikir gini, sepertinya iya. Ade di RSJ. Keren banget ceritanya mbaaa

      Hapus
  20. Semoga tahun ade keturutan menikah ya wkwkw..impiannya ditunda bentar nunggu persiapannya matang

    BalasHapus
  21. Ya Allah, kasihannya eh. Semoga yang kayak gini nggak terjadi di dunia nyata.

    BalasHapus
  22. Pantesan Emak melarang Ade ikut mba Rasti. Apa jangan-jangan saat itu sudah? Eh tapi bermain dengan bang Fajar. Jadi sejak kapan ya Ade dirawat?

    BalasHapus