Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menikmati Proses Mencintai Ilmu

 "Kirimkan foto Ketket ya, Ammi," pinta putra keempat kami lewat sambungan video telepon aplikasi hijau.

"Oke, besok ya Mas. Sekarang sudah gelap," jawab adik lelakiku satu-satu sambil mengucapkan salam penutup telepon.

Kulihat wajah cerah putra kami usai bertelepon dengan nenek dan pamannya. Ia memang sangat ceria dan senang bercerita. Kami dulu tidak menyangka ia ternyata memiliki bakat naturalis.

Pertengahan tahun lalu ibuku setuju saat kami berdiskusi tentang program belajar anak-anak. Biasanya kami membuat program per satu semester dan saat itu putra kedua kami mendapat tawaran boarding untuk menyelesaikan hafalannya.

Anak-anak kami memang bersekolah rumah. Sulung kami sudah menyelesaikan ujian penyetaraan setingkat Sekolah Dasar tahun 2020 dan saat ini ia mengikuti program belajar lewat PKBM setara kelas 8.

Dahulu kedua ananda kami pernah mendapatkan pengalaman belajar di sekolah hingga akhirnya mereka meminta untuk melanjutkan belajar bersama di rumah. Tahun ini genap 6 tahun kami menjalankan aktivitas bersekolah rumah.

Berbeda dari kedua kakaknya, ananda ketiga dan keempat kami - Kakak dan Mas begitu kami menyapa mereka- adalah dua ananda kami yang tidak punya pengalaman masuk ke sekolah dasar.

Tidak, poinnya bukan sekolah ataupun tidak sekolah. Saya dengan tegas tidak mengkomparasi kedua hal tersebut sama seperti tegasnya kami untuk membiarkan orang lain memiliki PILIHAN. Sebab, tidak ada yang berhak mengintimidasi dan merasa paling benar akan pilihannya dibandingkan pilihan orang lain.

Kakak kami izinkan untuk melaksanakan 3P (Pikir, Pilih dan Putuskan). Untuk case apapun termasuk mengenal huruf dan membaca baik Hijaiyah dan latin.

Kakak baru memulai mempelajari huruf di usia jelang 8 tahun. Sedikit lebih lama dibandingkan seniornya yang memulai di usia jelang 6 dan 7 tahun. Dan kami mengizinkan untuk kakak memulai saat ia merasa siap.

Tidak sekedar harus bisa baca, tapi senang dengan proses membaca. Suprising saat melihat hasilnya melaju pesat dan ia bisa mengatur belajarnya sendiri secara mandiri sesuai fitrahnya. Termasuk mempelajari hijaiyah dan Al-Qur'an.

Saya jadi teringat di awal-awal memiliki anak dan animo masyarakat terhadap menghafalkan Al-Qur'an membuat beberapa teman termasuk saya menjadi berlomba-lomba menargetkan hafalan Al-Qur'an sebagai prestasi dan kebanggaan.

Sudah berapa juz hafalan anaknya?"

Kalimat pertanyaan familiar yang akan jadi kunci sakti bertemu rekan dan sahabat. Lalu yang hafalannya cukup gendut akan menjawab dengan bangga dan sebaliknya yang mentok dengan jumlah tak seberapa menarik bibir dengan senyuman kecut dan pasrah.

Lalu mengapa dengan hafal Al-Qur'an?

Sungguh, bisa menghafalkan Al-Qur'an adalah salah satu bentuk anugerah yang Allah berikan bagi sebagian hambaNya. Iya, sebagian hambaNya. 

Tapi poinnya bukan berarti yang tidak hafal bukan berarti tidak lebih baik dan yang utama. TIDAK. Semua diberikan keistimewaan sesuai kafaahnya masing-masing. Yang terpenting adalah mencintai ilmu. Sebab Allah berjanji akan meninggikan derajat penuntut ilmu beberapa derajat.

Untuk case ini, saya berupaya menyiapkan diri saat beberapa rekan berkomentar hal yang membuat hati kurang nyaman terkait kakak yang belum gendut hafalannya. Poin menghafal toh bukan saat seseorang telah mencapai garis finishnya lebih cepat dibandingkan yang lain.

Menjadi penghafal Al-Qur'an bukan berarti adalah orang yang berhasil menghafalkan 30 juz Al-Qur'an. Seorang syaikh pernah berkata bahwa defenisi Hafizh adalah orang yang terus menghafal dan mengamalkan Al-Qur'an di sepanjang hidupnya. Urusan jumlah adalah bonus saja.

Islam senantiasa meninggikan ilmu. Tak terbatas pada ilmu ukhrawi saja bahkan ilmu yang sifatnya mendukung kemudahan duniawi juga dibenarkan untuk dipelajari. Sampai di fase ini saya merasa sangat tenang.


Mencintai Ilmu dan Segala Proses Belajar

Tidak merasakan diuber-uber saat pagi berkemas belajar, pe-er dan setoran ke guru, jadwal hectic yang padat dan tinggi bukan berarti membuat anak-anak bersekolah rumah seperti para ananda kami menjadi tidak memiliki konsep belajar. 

Memberikan kepercayaan pada anak untuk menemukan jalan terbaik untuk mencintai ilmu adalah salah satu tips membuat anak menyenangi proses belajar.

Sebagai orangtua kami hanya mencoba memfasilitasi anak saat mereka ingin mempelajari ilmu baru yang anak inginkan. Selanjutnya anak yang akan memahami kebutuhan belajarnya dan menentukan skill apa yang ia ingin capai kedepannya.

Seperti Mas, putra keempat  yang kami juga tidak menyangka ia punya bakat natural. Kami terkecoh dengan gayanya yang khas dan perlente. Hingga saat kemarin ia mendapat laporan yang cukup baik dari magang berternak dan mengurus tanaman.

Kepiawaian dalam mengarit rumput untuk pakan sapi, mengurus letong (kotoran sapi untuk dijadikan pupuk), menanam kencur, rimbang dan beberapa tanaman lain dengan sendok garpu yang ia kreasikan sendiri menjadi alat bantu tanam dan banyak hal menarik lainnya saat diminta mengutip brondolan kiloan. Apa jadinya bila kami tidak mencoba membiarkan ia mengeksplorasi dirinya dengan banyak hal.

Mencintai ilmu tanpa paksaan memang menyenangkan. Sebab, proses mencintai ilmu memang dilakukan sedari kecil hingga jatah antrian pulang memanggil. Aduhai pelik bila sudah hilang fitrah mencintai ilmu. Intinya memang tanpa paksaan.

Makhluk Hidup dan Proses Belajar

Saat pertama sekali ikut tinggal bersama pamannya Mas meminta dibelikan ayam teletubbies di pasar. Ayam ini adalah sejenis ayam ras kecil yang diberi pewarna sehingga terlihat menggemaskan.
 
Mas bersama Akang putra kelima kami diwanti-wanti untuk merawat ayam dengan baik dan dilarang untuk memegang ayam terlalu sering karena dikhawatirkan ayam menjadi stress dan mati.

Masing-masing diberikan satu ekor ayam dan terus dipantau sambil diedukasi menjaga piaraannya. Beberapa pekan, satu ekor ayam mati dan membuat mereka lebih berhati-hati merawat seekor ayam teletubbies yang tersisa.

Awalnya ayam piaraan mereka diberikan makanan berupa pur. Setelah beberapa waktu berlalu, anak-anak belajar membandingkan pangan yang berbeda berupa cacing untuk ayam piaraan. Saat itu naluri ayam untuk mencari makannya sendiri belum terbentuk.

Beberapa bulan berlalu, ayam teletubbies berubah menjadi ayam ras yang gemuk dan sehat. Tak lagi dibantu mendapatkan cacing bahkan ayam sudah belajar mencari makannya sendiri.

Magang bersama paman membuat anak-anak belajar membuat olahan makanan untuk piaraannya. Memelihara sapi dan melihat proses kelahiran anak sapi. Membuat fermentasi solid sebagai pakan sapi dan menjadikan fermentasi untuk pakan ayam dari ulat magot yang bertelur. 

Tak disangka ayam juga turut belajar menumbuhkan fitrahnya mencari makan di alam bebas dan tidak tergantung lagi pada pakan sintetis yang dahulu diberikan. Terbiasa strugle di alam dan lebih mampu bertahan. Begitu pula dengan manusia yang pembelajar.

13 komentar untuk "Menikmati Proses Mencintai Ilmu"

  1. Baru tahu ada ayam yang namanya teletubies. Sewaktu kecil saya tinggal bersama kakek nenek saya. Kakek saya piara ayam. Saya sering bertugas memberi makan ayam-ayamnya, dan mengecek apakah yang betina bertelur. Menyenangkan lho. Kadang ngisengin ayam jago dan kejar-kejaran sama ayam jagonya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha, itu karena ayam diwarnai merah kuning hijau dan warna lainnya imut ala Teletubbies

      Hapus
  2. Masya Allah sungguh keluarga yang memperhatikan bekal akhirat. Smeoga ananda menjadi penyejuk hati orang tua, dan membahagiakan orang tua di surga kelak. aamiin

    BalasHapus
  3. Waaah semua anaknya homeschooling kah? bagaimana mengatur jadwal belajar dan cara belajarnya? kebayang kalau semua anak memiliki minat yang berbeda, bagaimana cara menyalurkan minat dan bakatnya

    BalasHapus
  4. Masyaallah tabarakallah, pasti butuh usaha dan kesabaran ekstra saat memutuskan bersekolah di rumah, ya, Bunda? Semoga menjadi ladang ibadah dan amal jariyah.

    BalasHapus
  5. Pendidikan nonformal melalui orangtua di rumah, penting banget, ya.. Jadi ingat waktu dikuliahi dulu. Namun, benar adanya. Ada perbedaannya dengan pendidikan formal di sekolah..

    BalasHapus
  6. Aku yang kini telah menjadi orangtua. Berpikir untuk mengajarkan pelajaran yang gak didapat di sekolah anak. Seperti beberes dan pelajaran hidup lainnya. Seperti memperkuat mental. Hidup tak selamanya indah, adakalanya anak mengalami hal tak menyenangkan. Akupun jadi tergerak untuk mengajarkannya menjadi kuat, sabar, dan berani.

    BalasHapus
  7. Masya Allah kereen kk dalam proses pengasuhan anak2 untuk menjadi generasi islami sholeh sholehah dan berakhlak mulia.

    Semoga sukses dunia akirat 🤲🤲🤲
    (Gusti yenifamtrip)

    BalasHapus
  8. Pada dasarnya apa yang kita lihat adaalaj ilmu berharga, tinggal kitanya sendiri mau peka atau tidak

    BalasHapus
  9. Alhamdulillah
    Binatang saja bisa belajar ya bun. Memang sebaiknya manusia lebih berkemauan belajar ketimbang hewan.
    Dan semoga saja kita menjadi manusia pembelajaran hingga akhir hayat.

    BalasHapus
  10. Bang Aiman kah bun...
    Alhamdulillah udah dapat pasiionnya
    Saya masih bingung cari passionnya Lintang.
    Apa-apa gak mau kalo lintang mah...
    Ikut trial sana sini, tapi pas trial selesai gak mau nerusin...
    ada saran bun...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bukan aiman Bun, tapi Jundana.

      Usia pre teen memang masih perlu banyak eksplorasi Bun.
      Gak papa.

      Insyaainsya ia pasti akan menemukan 'passion' ke mana.

      Tugas kita hanya mengarahkan dan memfasilitasi saja

      Hapus
  11. Setuju. Menghafal Al-Qur'an salah satu bentuk anugerah yang Allah berikan bagi sebagian hamba-Nya. Dan jangan membandingkan anak anak kita dengan anak sahabat kita juga. Karena setiap anak istimewa. Dan dalam hidup memang terus belajar karena di dunia tak ada orang pintar.

    BalasHapus