Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menjemput kehidupan

(Ki-ka : Author dan Bidan Nisa di salah satu spot ruang bersalin)




'Manusia boleh memandang remeh atas ketidakmampuan kita, karena memang kita bukan apa-apa. Tapi tidak pada taqdirNya'

========================================================

"Bunda yakin kita pindah dari rumah ini dengan kondisi bunda sedang hamil muda begini" tanya suamiku ragu-ragu.

"insyaaAllah Yah, Bunda sudah memikirkan ini dengan pertimbangan yang matang. Ini yang terbaik buat keluarga kita dan juga kehamilan Bunda" jawabku lugas.

"Apakah bunda baik-baik saja saat ini" tanyanya lagi memastikan.

"Mungkin saat ini belum. Tapi InsyaaAllah kita semuanya akan baik-baik saja setelah keluar dari sini" jawabku meyakinkan suami.

"Baiklah, Bismillah kita tempuh ikhtiar kita untuk pindah" tukas nya pelan sambil tersenyum menggenggam tanganku.
.
Keesokan harinya, kami mengumpulkan anak-anak dan menginstruksikan untuk membereskan benda benda yang mereka butuhkan di tempat yang baru sambil meminta hanya membawa beberapa helai baju saja. Semua mengangguk tanpa bertanya banyak hal. Untuk keperluan yang batita, aku yang membereskan.
.
"Apakah di tempat yang baru ruangannya lebih luas?"

"Apakah nanti kami punya teman sebaya?"

"Apakah tempatnya jauh dari rumah kita yang sekarang?"

Ada beberapa pertanyaan yang sejenis yang dilontarkan beberapa dari mereka saat mulai mengemas barang. Aku mencoba tersenyum dan memahamkan bahwa kemungkinan kami akan beradaptasi dengan lingkungan yang baru, urusan menyenangkan atau tidak adalah tergantung prasangka kita kepada Allah dan juga kesiapan hati menerima tempat yang baru. Dan banyak berdoa agar urusan kita diridhai Allah adalah statement akhir yang kuulang berkali-kali agar meresap hingga alam bawah sadar ke anak-anak. Alhamdulillah, lewat anak yang lebih besar dialog-dialog para adik selesai dengan bahasa dan pemahaman mereka sendiri.
.
Butuh dua hari bagi kami merapikan dan mengemas barang-barang. Sesekali ada negoisasi dari suami bahkan anak-anak untuk membawa 'lebih' benda yang mereka inginkan. Namun, karena aku melontarkan kata kunci, 'sekedar' akhirnya mereka urung menawar kembali. Berat memang menyortir kesukaan dan kenangan apalagi benda dan rumah ini sudah kami tempati lama sekali. Menyisihkan dan mengeluarkan dari hati sama beratnya seperti saat mengumpulkan kepingan rupiah demi membangun pondasi hingga rumah ini berdiri tegak dengan bangunan berlantai tiga seperti sekarang. Perlu waktu panjang.
.
Dan episode menjemput kehidupan sedang menanti ditempat yang baru.


'Dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau Wahai Tuhanku'
==============================================

Sepekan sudah akhirnya kami menempati kontrakan dengan dua kamar. Anak-anak senang walaupun ada protes kecil dari anak-anak laki-laki karena mereka merasa kekurangan privasi tidur di ruangan yang notabene adalah ruang tamu. Sebelumnya mereka memiliki ruangan khusus anak laki-laki dirumah lama. 

Sepekan berikutnya Jundana- putera kami yang keempat- terserang demam tinggi dan batuk. Beberapa hari setelahnya muncul bintik-bintik kemerahan penuh di wajah dan sekujur tubuh. Campak. Harusnya memang ia diisolasi agar tak menulari saudaranya yang lain. Apalah daya, tak ada tempat isolasi dan persis beberapa waktu kemudian menyusul putri ketiga kami demam tinggi. Berbeda dengan Jundana, Rumaisha punya kecenderungan kejang. Ada kekhawatiran bila suhunya mulai diatas 39 derajat celcius. Belum hilang rasa kuatir kami, menyusul demam bayi kami yang berusia empat belas bulan.

"Gimana nih yah? Aufa masih Asi. Bunda kuatir ikutan demam. Tapi kalaupun berhenti Asi, rasanya sayang sekali" tanyaku pada suami

"Coba konsultasi Bun, upayakan ada second opinion" jawab suami.

Aku mengangguk. Beberapa kontak yang aku hubungi membalas pesan dan akhirnya ada satu nama dokter yang direkomendasikan untuk dikunjungi.

Aku mencoba menghubungi sang dokter lewat pesan dan akhirnya kami memutuskan bertemu di salah satu rumah sakit tempat ia berpraktek.

Sesuai janji, akhirnya kami bertemu dan aku mulai menceritakan kondisi kehamilan dan sang obgyn mendengarkan dengan seksama sambil sesekali menulis di lembar status klinis pasien.
Setelah beberapa saat, ia menyuruhku naik ke atas bed dan sang perawat membantu membersihkan sisa gel yang menempel di perutku.

"Saya kuatir janinnya ikut terpapar Bu" ujar Obgyn menjelaskan setelah ia memeriksakan gambaran janin lewat USG.
" Dan sayang sekali, saat ini janinnya sudah bergerak, kita hanya menunggu hingga pekan ke 20 untuk melihat apakah ada organ yang cacat karena terdampak virus" lanjutnya lagi dengan ekspresi kecewa yang kentara.

Nyess.
Rasa dingin menjalar ke seluruh tubuh. Aku masih tersenyum sambil mendengarkan penuturan dokter.

"Baik Dok, insyaaAllah di pekan ke dua puluh saya akan berkunjung kembali" jawabku sembari berpamitan.

Aku duduk di kursi ruang tunggu rumah sakit. Menunggu suami selesai sholat ashar di mesjid sekitar rumah sakit sambil menata hati. Perlahan, aku ceritakan segala prediksi yang disampaikan dokter saat suami tiba di kursi tunggu rumah sakit.

"Bunda sedih bila anak kita nantinya benar-benar cacat?" Tanya suamiku hati-hati

"Tidak. Bukan itu. Bunda masih dengan keyakinan penuh bahwa segala rezeki sudah Allah tetapkan jauh sebelum kita semua ada dibumi ini. Termasuk taqdir yang dituliskan untuk bayi ini" jawabku.

"Lalu, apa yang membuat bunda sedih" Suami bertanya lagi.

" Saat dokter dan perawat tadi menyayangkan janin ini sudah bergerak. Bunda mencintai anak ini apapun ia adanya. Bunda yakin Allah pun mencintainya. Bunda hanya kuatir suatu hari bunda lupa pada rasa cinta itu, pada rasa yakin itu. Dan bunda ingin ayah ingatkan Bunda" jawabku dengan air mata yang tak berhenti mengalir.
Kami berpelukan bersama berpasang-pasang mata yang sesekali menatap.

Kami disini ya Rabbi, sudah sampai disini. Dengan cinta dan keyakinan pada TaqdirMu yang penuh. Tidak ada yang dzalim, tanpa izinMu.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Alhamdulillah, Genap 22 pekan usia kehamilanku. Beberapa hari lalu aku sudah conform lewat chat di aplikasi hijau untuk melakukan  kunjungan pemeriksaan kehamilan dengan spesial kandungan. Ia merujuk ke sebuah rumah sakit swasta besar yang terletak di inti kota. Alasannya karena alat periksa cukup memadai dibandingkan rumah sakit lain yang ia masuki. Aku dan suami coba menurut saja. 
"InsyaaAllah ada rezeki sesuai prasangka kepadaNya."
Begitu yang kami yakini. Alhamdulillah jelang waktunya periksa ada upah pekerjaan yang diterima suami. Sambil menimang dana aku berkelakar 
"Kalo sisa, boleh bunda belikan oven tangkring atau mixer ya" pintaku.

"Boleh" jawabnya singkat.

Senyumku mengembang.

Kami mulai mempersiapkan diri untuk bertemu dokter kandungan sembari mewanti-wanti anak-anak rules saat akan ditinggal ke rumah sakit. Waktu periksa agak mentok sebenarnya. Jelang maghrib, dan sepulang dari tempat periksa, suami sudah harus menyelesaikan urusan pekerjaan sehingga tidak bisa mengantarkan pulang. Aku masih manggut-manggut sampai akhirnya seorang perawat menyebutkan namaku dan mempersilahkanku masuk keruang dokter.
.
Dengan wajah cerah sang dokter menjelaskan janin yang kukandung terlihat sehat dan segala kekhawatiran yang ia sampaikan di awal tentang dugaan kecacatan organik karena paparan virus juga tidak terlihat di pemeriksaan 

"Kecuali yang anorganik ya Bu, seperti pendengaran. Untuk pemeriksaannya hanya bisa setelah bayi nya dilahirkan" tambahnya lagi.

Aku mengangguk dan tersenyum. Usai periksa kami berpamitan dan langsung menuju kasir rumah sakit.

" Untuk saat ini, rasanya cukup ya Rabb"
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~



Mengenal BidandariPersalinan, saksi jihad bunda

=================================================

Kueja nama yang dikirimkan salah satu nakes yang kukenal di klinik bersalin tempat aku melahirkan putera kelima dan keenam. Nama itu mirip dengan akun yang di tag beberapa teman di aplikasi berwarna biru saat aku mencoba mencari info klinik bersalin yang tetap buka praktek di hari libur Idul Fitri. Tak lama kemudian jemari langsung meluncur ke aplikasi biru dan melihat tagline profil sebuah akun. Saksi jihad bunda. Bagus. Begitu kesan yang aku tangkap. Pencarian langsung terhenti saat putra sembilan belas bulanku meminta Asi. Aku bersegera menyudahi aktivitas berselancar dan meletakkan gawai di atas meja.

Usai urusan dengan putraku selesai, kuraih gawai dan menekan nomor kontak yang diberikan oleh Yani - nakes yang juga seorang bidan di salah satu klinik kesehatan. Yani biasanya selalu merekomendasikan nama-nama yang cukup representatif.
.
Setelah mengucapkan salam lewat aplikasi hijau, kumulai pembicaraan dengan bidan yang direkomendasikan Yani. Aku berusaha memberikan informasi terbuka sehubungan dengan kondisi kehamilan beserta hasil presentasi akhir pemeriksaan di spesialis kandungan awal bulan lalu. Dari tangkapan hasil pembicaraan itu, bidan Nisa- begitu ia disapa- merasa kondisi kehamilan yang kuhadapi cukup baik walaupun ia mewanti-wanti agar aku tidak buru-buru bila merasakan his persalinan mengingat kondisi kehamilanku merupakan multi gravida. Bisa jadi, lebih cepat dari yang diperkirakan. Walaupun mengaminkan apa yang ia sampaikan aku berusaha tetap tenang, karena kontraksi yang kurasakan belum muncul. Masih sebatas pink blood kecoklatan dan belum banyak. Biasanya di enam persalinan sebelumnya begitu pink blood muncul, paling lama 24 jam kemudian proses persalinan akan kuhadapi.

Ada sebuah ketenangan yang muncul, saat Bidan Nisa menyampaikan siap menerima kedatanganku kapan saja di kliniknya. Lega. Aku diterima. Begitu yang kurasakan.
.
Jelang malam, sebuah pesan kuterima. Bidan Nisa. Ia memberikan sebuah nomor kontak cadangan agar aku mudah menghubunginya bila nomor kontak yang biasa ia gunakan tidak aktif. Aku jadi teringat seharian setelah percakapan pagi tadi aku memang belum berkabar perihal kemajuan proses jelang bersalin yang aku rasakan.

Dini hari, ada kontraksi yang muncul per lima belas menit sekali. Punggung terasa panas dan nyeri hebat. Suami sudah mulai memberikan stimulasi massage oksitosin untuk meredakan nyeri. Masih jam 2 pagi. Kemungkinan besok setelah anak-anak selesai sahur dan sedikit merapikan rumah aku akan berangkat ke klinik bersalin. Begitu pikirku. Walaupun tak bisa ku pungkiri ada rasa sedih karena kemungkinan akan menghabiskan ujung Ramadhan dan ber-syawal di klinik tanpa anak-anak. Ditambah kondisi suami yang belum pulih dari sakit beberapa hari terakhir.  Selang satu jam kemudian, kontraksi yang kurasakan menghilang. Dan Alhamdulillah aku malah bisa tertidur pulas.

Tak lama kemudian kami mempersiapkan sahur terakhir bersama anak-anak. Jelang imsak, setelah menyusui si kecil aku kembali memeriksa apakah ada tambahan pink blood yang muncul. Ternyata tidak ada.

"Jadi ke klinik pagi ini" tanya suamiku.

"Tunda dulu deh yah. Kontraksinya berhenti nih" jawabku gemas.

"Ya sudah, tapi mulai hari ini bunda tidak usah masak dan jangan kerja berat dulu ya. Ayah kuatir nanti pas beneran mau lahiran bunda udah kecapean" tukas suami.

Aku nyengir sambil tertawa kecil.

Seharian hingga sore menjelang tidak kurasakan adanya kontraksi. Satu sisi aku merasakan deg-degan dengan kondisi yang tidak biasa ini. Disisi lain ada rasa lega karena kekuatiran meninggalkan anak-anak melewati Ramadhan tanpa ditemani orangtua sirna. Jelang maghrib kami kedatangan teman yang mengantarkan rantang tiga tingkat berisi lauk. Alhamdulillah, rezeki datang tak diduga. Anak-anak sumringah melihat isi rantang yang istimewa.

"Alhamdulillah ya Bun, berbuka puasa terakhir menunya enak sekali" komentar putra kami yang berusia enam tahun.

"Rizqi minallah" jawabku singkat.

Lalu semuanya segera menyahut hamdallah.

"Gimana Bun, sudah ada tambahan kontraksi?" Tanya suamiku.

"Belum yah. Barangkali bayinya ngasih kesempatan bunda untuk makan lontong lebaran dan tape gemblong" jawabku sekenanya.

"Ayah sendiri gimana kondisinya? Sudah merasa fit kah?" Tanyaku balik padanya

"Sepertinya belum full, Bun

Malam semakin larut. Terdengar suara takbir sahut-sahutan. Hatiku basah.

Perasaan mulai tak menentu. Mengingat enam kelahiran sebelumnya, proses persalinan dimulai maksimal 24 jam setelah pink blood. Kali ini sepertinya berbeda. HPL ku masih di bulan Juni, tapi keluarnya flek coklat kemarin seperti aba-aba yang membuat aku harus refleks untuk bersiap-siap. Aku coba memejamkan mata. Kulirik jam di gawai beberapa menit lagi akan berganti tanggal. Sambil membuka aplikasi penghitung kehamilan.
Tak lama kemudian, aku merasakan kontraksi seperti yang kurasakan malam sebelumnya. Kucoba menghitung intervalnya.

Kontraksi muncul kembali seperti di malam sebelumnya. Nyeri berdurasi satu menit dengan jarak per lima belas menit sekali. Bidan Nisa pernah berpesan agar langsung ke klinik bila kontraksi berjarak 30 menit sekali karena kehamilanku merupakan multi gravida. Namun aku memilih memantau setidaknya hingga subuh. Ternyata seperti kemarin, kontraksi berhenti di pukul 03.00 dini hari. Aku melanjutkan istirahat agar bertenaga mempersiapkan anak-anak sholat Idul Fitri pagi hari nanti.
.
Usai sholat dan berkumpul bersama anak-anak, kucium dahi mereka satu persatu. Mengingat betapa banyaknya kekurangan diri saat membersamai mereka. Memeluk sambil meminta maaf atas khilaf terhadap hak-hak mereka. Begitu juga pada suami. Entah berapa lama lagi akan ditaqdirkanNya bersama mendampingi. Tiada yang tahu.
.
Kami bersegera menemui beberapa tetangga yang cukup dekat. Lalu berangkat menuju rumah Ibu dengan jarak tempuh lima menitan dengan kendaraan bermotor.

"kalian duluan aja. Bunda biar jalan pelan-pelan" ucapku pada suami.

"Jauh loh Bun, nanti bunda kecapekan" tolak suami membujuk.

"Gak papa, biar ada olahraganya dikit-dikit" jawabku sambil senyum meyakinkan.

"Pegang hp ya. Kalo capek banget langsung telpon aja. Biar langsung jemput" perintah suami.

"Abang, jangan lupa jaga bunda ya" ucapnya lagi pada putra kedua kami.

"Siap yah" jawab si Abang.

Hampir setengah perjalanan menuju rumah ibu, tampak suami sudah bergegas menuju ke arah kami berjalan untuk menjemput.

"Yuk, naik aja" tawar suami.

Aku pun langsung naik karena memang perut sudah terasa kram.
Akhirnya kami sampai dirumah ibu. Ibu sengaja tidak membuka pintu lebar-lebar seperti lebaran tahun sebelumnya. Selain karena kondisi pandemi, ibu juga sedang kurang sehat dan buruh istirahat.
Kami menuju meja  hidang dan menyantap sajian idul Fitri yang dimasak adik perempuanku.

Anak-anak nampak riuh bermain. Lima orang anak adikku dan enam orang anak kami cukup membuat rumah ibu menggelegar. Aku berkumpul sambil ngobrol ringan bersama kedua adikku. Dan jelang Zuhur kami berpamitan pulang karena kakak dari suami mau berkunjung kerumah mengantarkan lontong lebaran.
.
Saat berpamitan dengan ibu, air mata menetes dari pipiku. Meminta ibu memaafkan segala khilaf selama menjadi putrinya.   Ini merupakan salah satu kebiasaan yang kulakukan setiap jelang bersalin. Ibu memelukku. Mengelus perutku dan berkata pelan
 "Sayang nenek, baik-baik ya. Lahirnya mudah ya. Cucu nenek anak yang baik, cucu nenek sayang sama bunda" ucap ibu.

"insyaaAllah kuat ya Nak. Jangan mudah putus asa. Ini kan jihad" Ibu membelai kepalaku.
Ada rasa tenang, paling tidak sudah bertemu ibu.
.
Sesampainya di rumah, kakak ipar sudah menunggu di depan pagar.
Aku tersenyum, lalu menyalaminya.
Setelah selesai memindahkan buah tangan yang dibawa kakak, kami ngobrol sebentar karena ia pun tidak bisa berlama-lama berkunjung. Kupeluk kakak ipar sembari berkata
" Kak, do'akan persalinan lancar ya. Kalau nanti ternyata kita tidak bertemu lagi, tolong titip anak-anak dan Abang ya" ucapku terisak.

Kakak ikut meneteskan airmata dan memelukku.
Bersyukur sekali direzekikan ipar yang sayang dan perhatian.

"insyaaAllah sehat terus ya. Kakak do'akan lancar. Jangan lupa kabari kakak kalau ada tanda-tanda mau bersalin" pesannya padaku.
Ia langsung menyikut lengan suamiku dan berpesan pada adik laki-lakinya.
.
Aku bergegas menuju dapur. Memindahkan beberapa potongan lontong ke piring, menyiramkan kuah sayur dan meletakkan beberapa lauk pelengkap. Dua piring lontong kuhidangkan untuk kami makan berdua. Anak-anak beristirahat di kamar.
Setelah menghabiskan lontong, kulahap dua tape ketan hitam dan beberapa potong  gemblong.

"Lontong dan tape gemblong sudah dimakan. Ada lagi kah yang bunda ingin makan sebelum melahirkan" tanya suamiku

"Rasa-rasanya udah gak ada lagi yah" jawabku tersenyum lebar. Walaupun ia bertanya dengan serius, rasa-rasanya aku tetap merasa lucu dengan pertanyaannya.

Hingga malam menjelang tidak ada kontraksi yang hadir seperti dua malam sebelumnya. Suamiku tidur terlelap membalas istirahat yang sering terganggu beberapa malam sebelumnya karena berkali kali terjaga. Hingga pagi menjelang ia sampaikan bahwa ia merasakan kondisi fisiknya sudah lebih baik dan pulih. Aku pun merasakan tidur yang nyenyak karena tidak merasakan sakit dan nyeri kontraksi.

"Masa iya dua malam sebelumnya aku cuma kontraksi palsu yah. Padahal sudah ada pink blood" ucapku.

"kalau ternyata bunda lahiran setelah tanggal 28 gimana?" Pancing suami

"Gimana apanya?" Aku bertanya kembali memastikan arah pertanyaannya.

"Di bidan mana?" Tanya suamiku

"Di bidan Nisa yah. Sejak kemarin dia sudah menerima bunda dengan baik. Masa iya aku gak setia" jawabku.

"Siip" tukas suami.

"Bentar ya, bunda mau ambil cemilan dulu" aku bergegas berdiri dari tempat tidur. Kurasakan cairan bening menetes tiba-tiba tanpa ada hasrat ingin buang air kecil.


============================================

Sanlat Persalinan

Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas 'Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam (QS. Al- A'raf:54)

================================================

"Bunda beser" tanya suami.

"Gak yakin sih Bunda. Masa' iya sampai segitunya gak bisa nahan " jawabku risih.

Kuraih gawai yang berada di atas nakas. Mencoba menghubungi seorang teman. Siapa tahu dia punya simpanan kertas lakmus. 
Sembari menunggu jawaban, tiba-tiba masuk pesan kedalam aplikasi hijau. Dari bidan Nisa. Menanyakan kabar kemajuan kontraksi yang kurasakan.
Aha! Aku terfikir untuk langsung bertanya ke bidan Nisa. Alhamdulillah ternyata beliau punya kertas lakmus. Tapi, bidan Nisa sedang berada jauh karena mengunjungi neneknya. Dan sepertinya tidak mungkin untuk mengirimkan kertas lakmus kerumahku.

"Coba di cek dulu kak. Warna dan bau nya" pinta bidan Nisa.

Aku mengeluarkan lembaran tisu yang kugunakan sebagai alas dan membauinya. Kuminta suami mengambil foto tisu di ruangan yang lebih terang cahayanya. Lalu mengirimkan hasil foto ke bidan Nisa.
Tak lama kemudian masuk pesan kembali. Bidan Nisa berjanji akan berkunjung kerumah siang ini.
.
Sepanjang menunggu bidan Nisa datang kerumah, aku berbaring di atas kasur. Tidak ada kontraksi yang kurasakan. Aku sengaja tidak memperbanyak gerak walaupun berbaring miring karena cairan terasa menetes bila aku mengubah posisi tidur.
.
Sekitar pukul 14.00 bidan Nisa tiba dirumah bersama asistennya, bidan Debby.
Hari ini perdana aku bertemu dengan bidan Nisa, yang sebelumnya Komunikasi kami hanya lewat percakapan di chat saja. Ia memperkenalkan diri. Lalu meminta izin agar aku berbaring dan memeriksa lewat VT.

Setelah memeriksa, bidan Nisa menatap wajahku dengan serius. Lalu menjelaskan bahwa saat ini aku sudah di pembukaan empat. Sambil menyusun kata, ia melanjutkan penjelasannya bahwa kondisiku saat ini sudah harus dipantau ketat karena KPD (Ketuban Pecah Dini). Bahkan saat VT dilakukan ketuban sudah ikut keluar bersamaan.
Aku mencoba mencerna perlahan apa yang disampaikan Bidan Nisa. 
Langkah pertama adalah induksi. Bila tidak berhasil, kemungkinan bidan Nisa akan merujuk ke salah satu rumah sakit untuk penanganan selanjutnya. Dan kemungkinan persalinan per-vaginam sekitar 60:40.

Aku terhenyak.
Aliran darah serasa berhenti. Pengalaman tidak menyenangkan saat diinduksi pernah aku rasakan saat melahirkan putri ketiga. Tapi untuk Sectio Caesarea pun bukan pilihan yang menyenangkan mengingat nantinya pasca operasi tidak ada keluarga yang bisa mendampingi sambil mengasuh ketujuh anak-anak kami.

" Kakak ikut aja yang terbaik menurut Nisa dek" begitu akhirnya pasrah kusampaikan. Walau bagaimanapun aku yakin nakes yang menanganiku akan berusaha segenap hatinya. Bismillah.

"Kak,jangan bergerak lagi ya. Nisa sudah pesan taxi online" pesannya.

"Iya" jawabku lirih.

Aku diminta memakai lipatan kain bedong agar cairan yang tumpah tidak membasahi taxi yang kami naiki.

Perlahan aku berjalan menuju pintu. Ke-enam anak kami berbaris sambil melihat aku berjalan menghampiri mereka.
Kuusap kepala mereka satu persatu, mencium dan memeluk mereka. Tak lupa sambil berpamitan aku meminta maaf atas kekurangan dan kekhilafan selama mengasuh mereka.

"Do'akan semoga Allah masih ridho kita bertemu lagi ya Nak" ucapku lirih.

Mereka menatapku dengan tatapan mata yang berkaca-kaca. Aku berjalan lurus menuju teras. Taxi sudah berada di depan pagar menunggu kami masuk. Anak-anak mengejar hingga keluar pintu. Tanpa suara, tanpa tangis. Seakan paham bahwa ini adalah perpisahan yang harus kami lalui saat ini. Bidan Nisa membuka handel pintu. Aku masuk kedalam taxi, menatap ke depan dan tak kuasa menoleh kesamping. Beberapa tetes air tumpah dari sudut mata.

Di dalam taxi, aku ditemani bidan Nisa. Sementara suami menyusul sambil mencari air kelapa untuk tambahan cairan yang harus aku asup.
.
Kutuliskan pesan pamit ke teman-teman dekat sembari meminta didoakan. Lalu menghubungi kakak ipar. 
.
Akhirnya kami sampai di klinik bidan Nisa. Aku masuk kedalam ruangan berukuran kurang dari 3x3 meter. Berbaring diatas bed bersalin dengan dinding berwarna peach. 

Bidan Nisa langsung memasang infus yang bercampur tetesan cairan yang berfungsi untuk menginduksi kontraksi rahim. Lalu ia juga memeriksa HB dan denyut jantung bayi. Alhamdulillah keduanya baik. Bidan Nisa pun keluar ruangan.

Azan ashar sudah berkumandang. Mataku menyusuri tiap sudut ruangan bersalin. Disisi atas terdapat pigura tergantung bertuliskan Al-Qur'an surat Al A'raf ayat 54, dimana Rasulullah pernah meminta Ummu Salamah dan Zainab binti Jahsy membacakan doa jelang Fatimah binti Rasulullah melahirkan.
.
Kuambil gawai dan menginstal aplikasi penghitung his saat kontraksi rahim sudah mulai aku rasakan. Interval dua menit dengan durasi sekitar lima puluh detik. Rasa nyeri mulai menghentak luluhkan tubuh.

Sambil menyesap air kelapa, lantunan Al-Qur'an surat Maryam mengalun lewat gawai. Kontraksi semakin menguat. Air mataku meleleh. 

"Ampunkan aku ya Rabbi, sabarkan aku pada tiap rasa sakit yang hadir"

Wajah putra-putri kami melintasi fikiranku. Rasa rindu dan sedih melanda. Betapa banyak hak mereka yang tidak aku laksanakan dengan baik. Betapa belum maksimal pengasuhan yang aku lakukan. 

"Faghfirli Rabbi"
Airmata terus meleleh. Suamiku mengusap-usap punggung dan turut berdoa.

Rasa sakit terus menghujam. Suami memberikan tangannya untuk digenggam. Selepas maghrib bidan Nisa memeriksa kembali DJJ dan melakukan VT

"Sudah berapa?" Tanyaku singkat

Ia tersenyum.
"Gak usah aja Nisa kasih tau ya kak" pintanya lembut.

'Tak bertambah maju kah' tanyaku dalam hati.

"Sudah maju sedikit, Nisa hanya tidak mau kakak berkecil hati" jawabnya jujur seolah tahu apa yang aku fikirkan.

Ya Allah, betapa tak sanggup aku dengan sakit ini

Begitu rintihku dalam hati.

Lantunan surat Maryam mengalun.

Sambil menahan nyeri kutatap layar di gawai.

'Fa ajaa`ahal-makhaaḍu ilaa jiż'in-nakhlah, qaalat yaa laitanii mittu qabla haażaa wa kuntu nas-yam mansiyyaa'

"Kuatkan prasangka kakak sama Allah ya kak" ujar bidan Nisa kembali saat aku mulai tersedu.

'Rabbi, bila boleh aku meminta berikanlah kesempatan padaku untuk hidup setelah melahirkan bayi ini' 

Aku menangis dalam sayup-sayup suara azan Isya. Tak ada daya upaya dari manusia yang maha lemah.

'La ilaaha Illa anta subhanaka inni Kuntu minaz zhalimin'

"Bisa berbaring telentang kak, biar kita periksa lagi?" tanya bidan Nisa

Aku menggeleng. Posisi miring ke sisi kiri sudah membuatku nyaman dan  tidak hendak aku ubah.
Rasa sakit terus mendorong. Ada dorongan kuat untuk mengejan. Tapi aku tahan karena aku khawatir malah menyulitkan kondisi ketuban ku yang sudah tak mengalir lagi.

Kucoba menarik nafas perlahan lalu menghembuskan kembali perlahan.
Ada dorongan kembali yang muncul dari bawah perut begitu kuat tanpa bisa aku kontrol untuk menghentikannya. Tiba-tiba terasa ada sesuatu yang keluar.
Kuminta suami agar menginstruksikan bidan untuk memeriksa.

"Tolong minta bidan, melihat ada sesuatu dibawah yang keluar, yah" pintaku.

Karena suami belum merespon, aku coba mengulangi kembali permintaanku sambil mengguncangkan tangannya.

Saat bidan hendak menyingkap gamis, terdengar suara lengkingan bayi menangis.
Semuanya kaget.
Karena sesuatu yang aku rasakan keluar adalah bayiku.

Bidan langsung memasang handscoon dan mengangkat bayiku ke dada untuk dilakukan inisiasi menyusui.

Permukaan tubuhnya sudah bersih dan tak lagi basah karena cairan ketuban yang sudah tiada.

MaasyaaAllah biiznillah bayi kami lahir.
Dan, rasanya aku pun seperti diberikan kesempatan lahir dan hidup kembali di dunia.

Faghfirli Rabbi.
Semoga taqwa turut menyertai proses menjemput kehidupanku dan putri kami.
Sungguh, belum pernah aku kecewa dalam berdoa kepadaNya. Berkali-kali cintaNya hadir. Saat dinyatakan janin yang kukandung terpapar virus campak. Lalu saat ia lahir dengan ketuban yang nyaris tiada. Dan yang paling mengejutkan saat ternyata Allah masih memberikan kesempatan ia bertahan dengan kondisi tali pusar tersimpul. Kondisi langka satu dari dua ribu persalinan. MaasyaaAllah. Allah yang mahakuasa, Maha Memelihara.

Bismillah,
Ahlan anakku, Zhillan Zhalila Damanik.

==================================



Simpul pada tali pusar bayi kami


Salam takzim kami untuk bidan yang menjadi perantara proses persalinan putri ketujuh kami. Beserta keluarga besar yang turut mendukung.
Semoga Allah naungi keberkahan ilmu dan usia.

31 komentar untuk "Menjemput kehidupan"

  1. 'Dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau Wahai Tuhanku', ini kalimat pamungkas saat tak mampu lg berlaku dan berucap. luarbiasa kak masyaAllah tabarakallah.....
    masyaAllah tabarakallah.....
    masyaAllah tabarakallah. sehat dan terus menginspirasi ya kak.
    dulu pas diinduksi awak kok ya gk tepikir manjatkan doa2. malah banyaan nangis. makasih kak udh ingetin sama ngajarin gmn ngadepin kondisi kek gt. dulu pas mau melahirkan rafa itu awak jg ngalamin KPD kak. cuma krn udh hmpir habis air ketubannya ,bidan nyaranin ke rs dan terjadilah seksio. hmmmm.
    sekali lg semoga allah limpahkan kesehatan dan kemudahan buat kk dan keluarga ya kak.

    BalasHapus
  2. Jadi terharu, aku deg2an. Belum punya pengalaman hamil dan melahirkan sih,tapi semoga kelak dilancarkan

    BalasHapus
  3. Selamat atas kelahiran putrinya, Mbak. Membaca cerita Mbak Shisca, seakan menunjukkan kebesaran dan kausa Allah SWT. Kalau Allah sudah berhendak, maka semua bisa terjadi. Dari yang jabang bayi terpapar virus campak, saat lahir air ketuban nyaris tak ada, sampai pusar yang tersimpul.

    Allahu Akbar...

    BalasHapus
  4. MasyaAllah ... Saluuut. Berarti sekarang ada tujuh putra-putri ya, Bun? InsyaAllah semuanya sehat, yaaa. Dulu aku juga diinduksi di dua persalinan. Boro-boro ingat baca doa. Memohon dimudahkan sih iya. Tapi entah doa apa yang kulantunkan. Jadi maluuu ...

    BalasHapus
  5. MasyaAllah, tabarakkal kk. Semoga jenna jadi anak yang sholehah. Perjuangan persalinan kali ini lebih 'heboh' ya kak. Alhamdulillah, bisa terlewati dengan baik.

    BalasHapus
  6. wah wah ceritanya sangat terharu banget kak, selamat yaa kak sudah melewati banyak rintangan untuk mengandung seorang bayi dan melahirkan ke dunia ini.

    BalasHapus
  7. Masyaallah say..kuatnyaa dirimu ngadepin n jalaninnya.. ya..alhamdulillah smuany selamat dan sehat yaa say..

    BalasHapus
  8. Kak sis, selamat ya atas kelahiran jadi bunda d'6 dong yaa,
    Selalu salut sama cerita tentang melahirkan sekaligus ngerii untuk gadis kek aku, ketika dulu di pondok temenku suka nonton rame-rame video melahirkan, aku tetap gak berani huhuhu..
    Semoga jadi anak sholihah ya dedek zilla

    BalasHapus
    Balasan
    1. Una.. Ini cerita putri ke7 loh. anak kk sischa udah 7. jadi bunda de7

      Hapus
    2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
  9. Masya Allah Tabarakallah...selamat atas kelahiran putri ketujuhnya, Mbak
    Semoga sehat Bunda, baby dan semua hingga nanti.
    Baca kisahnya ikutan nyeri ingat lahiran saya...Alhamdulillah lancar semua ya
    Doa terbaik ya

    BalasHapus
  10. Masya Allah ... selamat ya mbak atas kelahirannya. Semoga sehat selalu, dan menjadi anak yang didambakan karena Allah dan Agamanya. Amiiin

    BalasHapus
  11. SEperti biasa, diriku menangis bombay setiap membaca tulisanmu bunsis.
    Jadi siapa nama putri ke 7 ini?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Zhillan Zhalila Damanik Bun,tapi kami memanggilnya Jenna

      Hapus
    2. cantek kali namanya.
      apa tuh artinya bun?

      apakah salah satu rekomendasi anak2 bun namanya? hehehe
      mengingat ada 26 nama yang telah disiapkan aiman, dan 8 nama yang disiapkan Jundana kwkwkwkwkwkw

      Hapus
    3. Zhillan Zhalila terinspirasi dari QS an-nisa ayat 57 Bun.

      Jenna artinya syurga.

      Hahaha bukaaaaawn
      Catatan nama calon anak mereka ditulis di diary mereka sendiri

      Duuuh gak kebayang 😅

      Hapus
  12. Barakallah fil mauhub ya Shischa... masyaallah tabarakallah, tiap persalinan memiliki ceritanya masing2 ya, itu yg bikin kita merasa diri ini gak ada apa2nya sangat bergantung pada Allahu Shomad

    BalasHapus
  13. MasyAllah mba anaknya udah 7. Hebat ikh. Slamat ya mba. Aduh aku kok ikut ngerasa capeknya ya waktu baca drama awal pindah rumah mba. Dulu aku gitu juga waktu awal pindah dari bandung dan tangerang selatan. Ada aja dramanya, udah drama sedih sampai pada sakit karena di tangerang selatan ini panas banget. Tpi allhamdulillahnya sekarang udah nyaman tinggal di sini walau tetap ga senyaman di rumah kami yang di bandung hihihi. Semoga nanti bisa dimutasi lagi ke sana suami aku

    BalasHapus
  14. wah selamat ya mba dikarunia anak ke 7 semoga senantiasa sehat semua ya Amin YRA

    BalasHapus
  15. Udah 7 ya, jarang jaman skrg ini anaknya 7. Paling banter 4. Doakan saya punya anak ya, lagi berusaha hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hihi, jarang bukan berarti gak ada ya Bg Sani... Bunda Shischa membuktikannya tuh. Kl kami memang mintanya dua pasang / 4 aja sama Allah

      Hapus
  16. Bacanya sambil tahan nafas sesekali. I feel youuuuuu.. aaah rasanya terbang ke kelahiran si nomer 4. Saat merasakan induksi juga lewat infus. Mh.. beneran rasanya kayak merasakan sakratul maut.
    Dek Jenna, jadi anak sholihah ya. ❤️

    BalasHapus
  17. masyaAllah tabarakallah kak 💙💙💙 jd anak yg sholehah ya dek. smoga smuanya jd anak berbakti dan patuh pd agama, aamiin allahumma aamiin

    BalasHapus
  18. Masyaallah tabarakallah, walaupun belum pernah merasakan lahiran normal tapi saya jadi merasakan lewat cerita kk shisca, bener2 perempuan yang tangguh, sehat selalu ya kak :)

    BalasHapus
  19. MasyaAllah... kebayang waktu saya melahirkan dulu. Keajaiban bisa datang jika kita yakin dan percaya ama Allah. Anak ketiga saya lahir dengan ditangkap ayahnya karena bidan masih bersiap2. Barakallah ya kak, semoga si kecil jadi anak sholehah dan penyejuk hati bagi orang di sekitarnya.

    BalasHapus
  20. kak mau nanyak, yumna artinya bgus ya kak? awak mau nyontek nama yumna klo ntr insyaallah anak awak lhr perempuan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yumna itu artinya kanan dek.

      Maksudnya biar berkah karena permulaan

      Hapus
    2. klo di google kok artinya diberkahi dan beruntung ya kak bru awak carik. cak kk dulu kasihkan rekomendasi nama anak yg bagus biar jd doa. 😊

      Hapus
  21. Kakakku yang baik, selamat ya atas kelahirannya. Semoga jadi anak yang sholehah, cerdas, cantik, baik, dan selalu dilindungi Allah.

    Baca tulisan ini, Alfie merasa seperti terbawa dan ngebayanginya. Allah itu maha baik ya kak.

    BalasHapus
  22. SAya membaca ini dengan rasa deg-degan Mbak. pertama, karena pernah pindahan rumah 2x saat kondisi hamil.
    Kedua karena campak. Ya Allah.... saya agak bergidik, jujur.
    dan ketiga saat persalinan.
    Luar biasa. AKhirnya hanya itu yang bisa saya katakan Mbak.

    Btw, template sora ini bisa diganti warna font-nya agar tidak abu-abu gini. Aslinya agak memaksakan baca sih. Silakan dicoba. Saya pakai ini juga di blog yang susi(dot)my(dot)id.

    BalasHapus
  23. Perjuangannya besar dan berat banget ternyata. semoga selalu diberikan kesehatan dan kelapangan agar semuanya baik-baik saja.

    BalasHapus