Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pundi-pundi marah seorang Isti




"Ya Allah kang, dah bertahun tahun tapi tetep aja kayak gini. Gak ada berubahnya" Omelan Isti terdengar hingga ruang tengah dimana Maman sedang mengotak-atik kipas angin mini yang tak lengkap lagi perangkatnya.

"Iya maaf, nanti akang pindahkan" sahut Maman sambil mengeraskan suaranya.
Ia tahu Omelan Isti dikarenakan ia lupa meletakkan handuk basah yang ia gunakan untuk mandi diatas tumpukan pakaian yang telah diangkat Isti sore tadi.

Niatnya hanya ingin mencari singlet tipis diantara tumpukan pakaian dalam keranjang. Ternyata bablas kelupaan saat ia asik membongkar muatan dalam keranjang.

Seperti biasa kebiasaan Isti setelah habis mengeluarkan kekesalan dan uneg-uneg nya pada Maman ia langsung masuk ke dalam kamar. Membuka lemari dan meraih kardus yang dilapisi kertas bercorak bunga-bunga. Menarik nafas panjang lalu beristighfar dan segera mengembalikan dus ke tempat semula.

Isti lantas merebahkan tubuhnya di atas kasur empuk yang dibelikan Maman sebagai hantaran pernikahan mereka tujuh tahun lalu. Kasur dan seprei yang melapisi masih licin dan terlihat awet. Mereka hanya memiliki 3 set seprei sepanjang pernikahan. Tapi tak ada seprei yang sudah terlihat kusam ataupun kumal. 

Isti memang sangat rapi mengatur rumah dan perkakas yang mereka punya.

Rumah yang mereka huni adalah rumah tua peninggalan orangtua Maman. Hanya ada dua kamar didalam rumah. Satu digunakan untuk ruangan tidur Maman dan Isti. Sementara yang satu lagi digunakan untuk tempat shalat dan juga kamar tamu bila ada kerabat yang menginap mengunjungi keduanya. 

Maman tidak memiliki saudara kandung. Sedangkan Isti merupakan anak ketiga dari delapan bersaudara. Sayangnya saudara Isti rata rata tersebar di beberapa kota dan hanya berkumpul saat lebaran tiba.

Rumah mereka memang rapi dan bersih. Isti begitu telaten mengerjakan pekerjaan rumah. Ia pun terampil membuat aksesori dari bahan rajutan juga mukenah sulam yang sering dipesan para tetangga jelang Ramadhan. Selain itu, Isti juga rajin menitipkan es lilin dan jajanan pasar di beberapa warung dekat rumah.

Sementara Maman bekerja sebagai teknisi mesin di sebuah pabrik makanan setiap hari kecuali hari Minggu. Setiap jam lima sore, Maman biasanya sudah sampai dirumah. Menikmati secangkir kopi dan gorengan hangat yang disediakan Isti. Bila libur bekerja Maman sesekali mengunjungi tetangga ataupun menyiangi rumput yang merusak tanaman di halaman belakang.

Maman tidak pernah keberatan mendengar omelan Isti. Ia menganggap suara istrinya adalah obat penghibur rumah mereka yang sepi. Bila Isti sehari saja tidak marah tentunya rumah akan semakin sunyi. Keduanya pun kurang suka menonton televisi. 

Sesekali Maman menyetel radio saat Isti sedang libur mengajarkan anak-anak mengaji.

Menginjak tahun keempat pernikahan mereka, Isti sempat mengandung janin. Tapi belum sampai tiga bulan ternyata dokter mengatakan janin yang dikandung Isti tidak berkembang. Hingga sekarang Isti belum berkesempatan hamil kembali. Ada gurat kecewa di raut wajahnya. Tapi Maman selalu menghiburnya.

Tak ada cela pada diri Maman sebagai suami. Hanya kebiasaan yang kurang disiplin dalam keseharian bertolak belakang dengan aturan yang Isti berlakukan dirumah. Menggantung baju hingga menumpuk, menghilangkan tutup kotak makan, mengacak-acak susunan baju yang telah dirapikan Isti dalam lemari, meletakkan sabun di lantai kamar mandi, menjatuhkan kunci hingga berkali-kali Isti harus menduplikasi kunci ganda, dan masih banyak lagi kebiasaan Maman yang memicu omelan Isti.

Kriiiiet
Terdengar suara derit pintu kamar yang dibuka.

"Hari ini anak-anak tidak datang mengaji, Dek?" Tanya Maman sambil memijit telapak kaki istrinya.

"Libur, Kang" jawab Isti pendek.

"Oh iya, aku sebenarnya mau minta maaf Dek" tukas Maman lirih.

Isti diam. Tapi tatapannya tajam kearah Maman.

"Jangan lihat sampai begitu" protes Maman menyengirkan senyuman sambil menjawil pipi istrinya. Ia sudah bersiap Isti akan marah kembali setelah mendengar pengakuannya.

"Curiga aku, Kang. Entah apa lagi yang bakalan kamu sampaikan" jawab Isti mencelos.
Maman tersenyum lagi menampakkan gigi.

"Itu loh Dek. Kotak bekal makanan tadi, nggak sengaja keinjek Sobur pas ngangkat material mesin" aku Maman sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal.

"Astaghfirullah kaaaang" spontan suara Isti menggema.

"Iya, nanti diganti Dek" tukas Maman cepat dengan harapan amarah Isti bisa diredam.

"Masalahnya itu bukan milikku, Kang. Kan sudah kusampaikan pagi tadi jangan asal comot" protes Isti dengan air muka yang memerah.

"Tadi Akang buru-buru" jawab Maman beralasan.

"Ya Allah, Kang. Aku udah gak tau mau marah gimana lagi. Kehabisan kata-kata rasanya" ucap Isti sambil membalikkan badan membelakangi Maman.

Maman masih duduk di tepian tempat tidur menanti Isti menyemburkan omelan padanya. Isti masih diam. Tak lama kemudian ia berdiri dan berjalan ke arah lemari. Membuka pintunya, mengeluarkan sebuah dus, beristighfar dengan suara lirih lalu mengembalikan dus kembali. Maman sering melihat kebiasaan istrinya setiap ia selesai marah padanya tapi ia tak hendak bertanya apa-apa.

Isti berjalan menuju pintu kamar.

"Mau kemana Dek?" Tanya Maman.
" Menyiapkan makanan untuk Akang" jawab Isti lembut. Tak ada lagi intonasi marah pada lisannya. Maman tersenyum. Istrinya sudah bersikap biasa lagi.

Tak lama kemudian Isti mengetuk pintu kamar mengagetkan lamunan Maman.

"Kang, yuk makan. Sudah aku siapkan dimeja" panggil Isti

Maman bersegera bangkit keluar dari kamar lalu berjalan pelan menuju meja makan. Isti sudah terlihat duduk menunggunya.

Dua buah piring kosong berwarna biru dengan corak garis beserta beberapa piring berisi lauk yang masih hangat tersusun rapi diatas meja.

Isti menyendokkan nasi ke dalam piring, membubuhi sambal kesukaan Maman lalu menggeserkan piring berisikan lauk mendekati Maman.

Sebuah kertas berwarna hijau terlihat menyelip diantara piring makan. Isti menarik kertas flyer bergambar seorang laki-laki dan perempuan menggunakan mukena putih dengan tangan menengadah dan latar belakang Ka'bah. Tertera nama biro perjalanan wisata haji dan umroh di baris paling atas.

"Apa ini Kang?" Tanya Isti pada suaminya.

" Oooh, itu Akang tadi berpapasan dengan Ruslan di jalan saat pulang. Sekarang ia punya usaha travel" jawab Maman menjelaskan pada Isti.

Isti terdiam menelisik isi flyer. Ia belum pernah sekalipun bepergian jauh. Wisata ke tanah Haramain pasti sangat jauh batin Isti menyahut.

"Dek, katanya berdoa didepan Ka'bah dikabulkan doanya ya" Maman berkata lirih. Sebenarnya ia tidak bermaksud mengajukan pertanyaan pada istrinya. Hanya luapan kecil keinginan yang terlontar dari emosinya.

"Berdoa dimana saja Allah tentunya tetap mendengar, Kang" jawab Isti. Ia seperti menangkap gejolak rasa pada kata-kata suaminya.

"Kenapa? Akang pengen berdoa ke Ka'bah" cecar Isti lagi pada suaminya.

Maman menggelengkan kepalanya.

"Akang belum pernah membawa kita bepergian berdua" jawab Maman pelan.
"Lagipula uang tabungan Akang paling-paling hanya sekitar sepuluh juta lebih sedikit saja" sambung Maman lagi.

Isti terdiam. Ia tahu ada rasa yang hendak disembunyikan Maman.

"Ya sudah, segerakan makannya Kang" ucap Isti membuyarkan lamunan suaminya.

Setelah menyelesaikan makan, Isti segera membereskan meja dan membawa piring kotor ke dapur. Maman membantu meletakkan beberapa piring yang masih menyisakan lauk kedalam lemari.

Usai membereskan beberapa peralatan dapur, Isti melangkah masuk kedalam kamar. Dibukanya pintu lemari dan mengeluarkan dus corak bunga-bunga. Terdapat sebuah cutter pada selipan baju di rak kedua lemari baju. Tangannya mengambil cutter dan menggoreskan perlahan di dinding dus bunga-bunga.

Biasanya dus ini ia buka setiap awal bulan Muharram. Sudah enam kali ia membongkar dus dan memindahkan isinya kedalam bekas kaleng biskuit. Dan merekatkan dus kembali dengan bantuan lakban agar bisa ia gunakan seperti sebelumnya.

Isti mengutip ratusan lembar kertas berwarna ungu yang terlipat. Merapikan lipatannya dan menghitung perlahan kertas bergambar seorang laki-laki dan lukisan taman Nasional Wakatobi. Ada hampir enam ratusan lembar jumlahnya. Biasanya setiap tahun lembaran kertas itu tidak pernah lebih dari lima ratus lembar.

Isti menangis. Ia beristighfar lamat-lamat. Enam ratus lembar uang kertas sepuluh ribu. Lebih banyak dari tahun-tahun sebelumnya. Artinya di tahun ini ia banyak ngomel dan memarahi Maman suaminya. Lagi-lagi Isti kembali beristighfar.

Isti, dan kebiasaannya menyelipkan selembar uang kertas sepuluh ribu setiap ia mengomel dan marah pada Maman telah ia lakukan sejak awal pernikahan mereka. Kebiasaan unik yang tak pernah ia ceritakan pada siapapun termasuk Maman. 

Isti beranggapan pundi-pundi ini sebagai bentuk evaluasi seberapa mampu ia mengkoreksi bentuk emosinya. Makanya setiap ia tak berhasil meredam marah dan berujung omelan, ia selipkan selembar uang sebagai kompensasi emosinya. Begitulah bertahun tahun tanpa diketahui Maman.

Tiga puluh dua juta delapan ratus dua puluh ribu. Isti hampir tak percaya dengan pundi-pundi marahnya selama tujuh tahun pernikahannya dengan Maman. Ada tiga ribu omelan terjadi sepanjang pernikahannya. Ia beristighfar kembali. Matanya basah. Ia berharap tiga ribu omelan itu hangus terbakar dalam zikir dan talbiyah.

Isti membawa pundi-pundinya keluar dari kamar. Menghampiri Maman yang sedang memegang flyer travel milik Ruslan.

"Kang" panggilnya lirih pada suaminya.

Maman menoleh, tersenyum melihat istrinya.

"Akang kira sudah istirahat di kamar tadi" jawab Maman.

"Besok kita temui Ruslan ya" pinta Isti lirih. Diserahkan pundi pundi miliknya ke tangan Maman. Lalu menceritakan asal muasal ribuan lembar uang didalam kaleng.

Mata Maman basah.

"Akang selalu ridho walaupun engkau marah Dek. Terimakasih untuk pundi pundi ini. Dalam marah pun engkau tetap berakhlak baik pada Akang. Dalam marah pun masih terselip cinta untuk Akang " Maman menarik Isti kedalam pelukannya.

Esok ia dan istrinya akan menemui Ruslan. Menyampaikan ribuan lembar kertas berisi mimpi dan harapan. Menggenapi perasaan rindu mengadu dan bersimpuh di rumahNya.

'Labbaika Allahumma labbaika, labbaika laa syariika laka labbaika, inal hamda wan ni’mata laka wal mulka laa syariika laka'

29 komentar untuk "Pundi-pundi marah seorang Isti"

  1. Masyaallah tabarakallah bisalah ditiru ini sikap si Isti ya, jd kl marah sm suami ada kafaratnya misalnya 10k, gitu. Hmm boleh dicobalah soalnya sekalian pingin tau juga dalam setahun berapa x sebel binti kesel ama my honey, haha. Nice story, Shischa... like this!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih apresiasinya kak Mia.

      Tinggal mengelola manajemen marah menjadi lebih bermakna ya kak

      Hapus
  2. Kalo awak rasanya cuma mampu nyimpen 2000 aja lah kalo ngomel. Nanti lah awak tiru

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ish dah paten kali lah itu. 2000x6 orang berarti bisa nyimpen 12.000 sehari

      Hapus
    2. Hahaha janganlah sampe semua awak omelin. Sehari bisa berkali-kali bisa bangkrut.. 🤣🤣

      Hapus
  3. Pundi pundi marah yaaa
    Andai di ganti jd pundi2 uang hehe
    Kl istri awak marah, awak ngalah aja.. biar aja dia ngomel. Tp dah tu dia minta maaf hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha, rumusannya kalo kata suami saya
      "Gak ada untungnya berantem ngelawanin perempuan.
      Kalo menang, disoraki orang 'nyari lawan kok perempuan,gak imbang'
      Kalo kalah dicibir 'sama perempuan aja bisa kalah, bacul'

      Hapus
  4. Hai awak pun mau meniru, keknya bakalan banyak duit awak drpd duit isti kwkwkwkw

    Entah knp yg terbayang ketika membaca kedua tokoh suami istri maman dan isti ini adalah wajah bunsis dan pak Amri 😁

    Semoga bisa segera ke tanah suci jugak, aaamiiin ya Allah

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wuiiih, jadi kebayang BunVi bongkar tabungan di grand opening lebaran.
      Wkwkw...

      Untuk doa ke tanah suci, Semoga Allah kabulkan dan begitu pun sang pelantun doa, Semoga segala kebaikan kembali ke pemiliknya. Allahumma Aamiiin

      Hapus
  5. Hahahaha, aku tertarik dengan jumlah seprei yang mereka punya cuma 3 set, kalau kami dirumah masing-masing punya 2 set buat cadangan, rusak baru ganti lagi. Duh, bongkar aib sendiri.

    BalasHapus
  6. yaAllah ceritanyaaaa 😭😭😭 handuk basah di ranjang aja perempuan tuh ngomel ya duh gmn gak kebayang jd istri :") masyaAllah ya kak marahnya jd evaluasi diri sndirii. smoga kelak berumah tangga bisa gitu 🥺

    BalasHapus
  7. Cerita ini menjadi pengingat diri ya bagi setiap istri..
    Semoga setiap rumah tangga bisa mencontohnya..
    Saya terharu..

    BalasHapus
  8. MasyAllah.. Tabarakallah.. merember mili baca ceritanya. terharu bun. tapi kok aku ngebayangi kak sis jadi isti. hehehe...

    BalasHapus
  9. ya allah kak.....masyaAllah tabarakallah tulisannya. ku jadi merasa tertampar. ah mulai lah awak kak minggu min gitu. tpi jan 10k lah klo awak tumpor bandar lah. ������ 2000 aja lah ya dulu thn pertama.

    BalasHapus
  10. Masya Allah..ide bagus begini, coba kutiru sejak dulu, 18 tahun sudah aku merepeti suami hihi..berapa kali pulak dalam sehari. Berapa duit aja ituuuh huhuhu
    Keren Mbak, cuka banget ide dan cara berkisahnya:)

    BalasHapus
  11. Masya Allah.. cerita ini sangat menginspirasi, Mbak Sischa. itu marah selama 7 tahun sudah berbentuk tabungan untuk mengunjungi rumah Allah ya, Mbak. Bisa ini ditiru oleh kita, selain untuk koreksi diri, juga ada sesuatu indah yang akan didapatkan.

    BalasHapus
  12. Masya Allah, pengen banget meniru nih. Aku juga orang nya gampang marah dan meluap2.. duh mesti ditampung dalam pundi2 yah biar bermanfaat. Terimakasih mba, aku jadi terinspirasi :)

    BalasHapus
  13. "...dan kebiasaannya menyelipkan selembar uang kertas sepuluh ribu setiap ia mengomel dan marah pada Maman telah ia lakukan sejak awal pernikahan mereka. Kebiasaan unik yang tak pernah ia ceritakan pada siapapun termasuk Maman."

    Kutipan cerita favoritku. Sangat inspiratif. Tiap marah/ngomel harus nyelipkan uang yg akhirnya bisa jadi tabungan hehe mantap

    BalasHapus
  14. huhuhuhu, meweeekkk..
    Makasih banyak kisahnya Mba, saya jadi punya bayangan seperti apa mau menekan kemarahana, buat anak sih.

    Ya Allah, bahkan dalam blog walking pun, Allah beri petunjuk agar saya bisa jadi seorang yang lebih baik lagi :')

    BalasHapus
  15. Wah boleh juga nih jadi inspirasi. Kalau ngomelin suami langsung nabung duit sepuluh ribuan. Selain evaluasi diri kalau kekumpul duitnya bisa dipakai jalan-jalan berdua. Hehehehe

    BalasHapus
  16. Ya Allah, cerita Isti dan Maman inspiratif sekali, apa kabar saya yang tiap hari ngomel sama anak-anak, duh jadi malu, barakallah untuk Maman dan Isti selamat menunaikan ibadah di tanah suci

    BalasHapus
  17. Ini cocok banget buat saya sebagai calon suami membaca artikel ini jadi tau kedepan memperlakukan istri gmn, thanks sharingnya kak

    BalasHapus
  18. keren ada pundi2 marah..tapi jadi berkah ya kak..btw klo dikehidupan nyata mbak Isti itu sehari pegang uang 10rb brp lembar ya? krna kang Maman sering dimarahi sehari bisa lebih dari sekali hehe

    BalasHapus
  19. Allahu, indah sekali ceritanya. Tentang manajemen marah ini memang pelaksanaannya butuh remedial setiap hari. Yang penting jangan berhenti untuk terus belajar untuk mengontrol emosi, apalagi kalau sudah berumah tangga. Ya Allah, ku jadi baper.

    BalasHapus
  20. Masya Allah, istri shalihah yang kuar biasa. Ini fiksi atau kejadian Mbak?

    BalasHapus
  21. Masya Allah kereen banget kisahnya, jadi ikut terharu dan terbawa suasana.

    Sukakk ceritanya 👌

    BalasHapus
  22. Ceritanya mantap sekali. Btw bisa ditiru juga nih perilaku sang istrinya. Tinggal bedain nominal aj

    BalasHapus
  23. Masya Allah kak aku bacanya terharu banget dan ga nyangka dari amarah istri ke suami bisa terbersit ide buat ngumpulin uang trus hasilnya ternyata sangat bermanfaat ya

    BalasHapus
  24. MasyaAllah, ikut merasakan nano-nano perasaan tokoh, cara yang dilakukan Isti inpiratif sekali. bisa dicontoh ini.

    BalasHapus