Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pengakuan



Dewi. Begitu nama yang biasa disapa Bang Hari di setiap pesan masuk telepon seluler yang ia miliki. Sudah lama aku tahu pemilik nama itu dekat dengan Bang Hari. Awalnya mereka akrab berbincang lewat pesan singkat. Hingga akhirnya ia tahu bahwa aku menggunakan aplikasi penyadap pesan masuk dimana setiap pesan otomatis terkirim juga ke ponselku. Akhirnya Bang Hari kemudian lebih nyaman berkomunikasi dengan Dewi lewat personal kontak di aplikasi hijau.

Usiaku terpaut beberapa tahun saja dari janda tanpa anak itu. Beberapa bulan lalu sejak berhubungan dengan Bang Hari ia menggugat cerai suaminya. Dan permohonan gugatan dimenangkan olehnya. Begitu obrolan terakhir yang aku tahu dari pesan masuk yang ia kirimkan kepada Bang Hari.

Berbulan-bulan setelahnya, kabar Dewi tak lagi aku dengar. Hingga sepekan lalu saat Bang Hari akhirnya berlutut mengakui bahwa ia telah menikahi Dewi dan merayu membujukku untuk menerima pernikahan keduanya agar keluarga kami turut menerima keberadaan Dewi.

Di hadapan kami, Dewi duduk bersila dengan tunik berwarna abu-abu dan pasmina hitam yang diselempangkan. Tiga orang iparku duduk disamping kiri dan kananku seakan memberi pesan bahwa mereka siap melindungiku dari perempuan seperempat abad ini. Sementara Hakan, putra ketiga ku yang masih dua bulan digendong oleh kakak tertua Bang Hari.
.
"Berani sekali kau muncul di rumah ini" hardik Mbak Wulan yang sedari tadi memegang pundakku.
Tetangga dan beberapa kerabat sudah banyak yang menarik diri untuk pamit. Yang tersisa hanya kami keluarga inti almarhum Wirakesuma, ayah mertuaku.

Sebenarnya ini bukan kali pertama Dewi datang. Karena aku sempat menangkap kehadirannya saat di pemakaman. Sendirian tanpa teman dengan pakaian serba hitam dan kacamata Ray-Ban ia melangkah maju saat kami semua sudah mulai meninggalkan area pemakaman. Wajahnya sudah sempat aku kenali lewat foto profil saat ia dekat dengan Bang Hari.

Dewi masih diam dengan kepala tertunduk.

"Apa yang kau inginkan dari kami?" Tanya Mbak Heni dingin sesaat setelah ia menyerahkan Hakan pada asisten rumah tangga kami untuk segera dibaringkan di kamar.

"Pengakuan? Warisan?" Cecar Sari adik ipar ku sinis.

"Mohon maaf bila kehadiran saya kurang tepat. Saya menampilkan diri karena saya merasa sudah menjadi bagian dari kehidupan Bang Hari" akhirnya Dewi membuka suara menjawab pertanyaan ipar-iparku dengan lirih.

"Menjadi bagian atau kau memang berharap ada bagian untukmu dari sini" balas Mbak Heni sengit.

"Terserah saja. Tanpa saya berikan saksi dan bukti Mbak Kania juga sudah tahu tentang pernikahan saya dan Bang Hari" balas Dewi sambil menunjuk ke arahku.

"Jangan kau seret Kania untuk melancarkan muslihatmu. Tak sadar kehadiranmu telah membuat kematian bagi hidupnya" Mbak Wulan ikut menimpali omongan Dewi. Aku masih terdiam.

"Saya yakin Bang Hari sudah menyampaikan kabar pernikahan kami pada Mbak Kania. Karena sore itu ia berpamitan padaku menemui Mbak Kania untuk menerima kehadiranku sebagai pendamping Bang Hari" Dewi dengan lugas berkata meyakinkan ketiga iparku.

Aku tetap diam.

Anganku berputar pada rekaman sore sepekan lalu. Bang Hari tiba dirumah setelah dua pekan izin menyelesaikan pekerjaan di luar kota. Sejak kelahiran Hakan, ia memang sering izin pulang telat ataupun menginap di ruko kantor untuk menyelesaikan pesanan design. Aku izinkan karena beberapa kali ia mengaku uring-uringan dengan kondisi masa nifas setelah melahirkan Hakan. Tidak aku tanggapi karena awalnya aku fikir ia bercanda. Lama kelamaan aku sampaikan bahwa aku cukup terganggu dan merasa ditekan. Sebab, nifas yang kualami toh akibat aku melahirkan putranya. Setelah itu ia memang tidak pernah protes lagi. Dan sebagai bentuk dukunganku, aku biarkan ia tidak dikekang dengan jadwal pulang.

Aku berusaha memahami bahwa ia mungkin butuh waktu untuk berdamai dengan peran kami sebagai orang tua baru bagi ketiga putra kami.

Saat usia Hakan genap sebulan, Bang Hari izin pergi keluar kota selama empat hari. Aku pun mengizinkan dengan kerepotan yang penuh bersama bayi dan dua kakaknya yang balita. Kufikir setelah ia pulang dari urusan pekerjaannya, ia bisa terhibur dengan masa nifas ku yang hampir selesai. Aku pun tidak protes saat ia ternyata kembali hingga hari ke delapan. Aku menyambut kepulangannya dengan menuntaskan waktunya berbuka berpuasa.
Ia terlihat bahagia. Tentunya itu yang kuharapkan sebagai istri.

Sepekan setelah itu, ia kembali meminta izin untuk berangkat keluar kota menyelesaikan pekerjaan yang sempat tertunda karena kepulangannya kerumah. Kufikir hanya sepekan.
Dua pekan.
Cukup lama bagiku dan juga anak-anak yang merindukan bermain bersama papa mereka. Belum pernah Bang Hari meninggalkan kami dengan waktu yang lebih dari sepekan terhitung sejak tujuh tahun kami menikah.

Sejak siang, Ahsan dan Hania aku titipkan dirumah Mbak Wulan karena Bang Hari berpesan ingin menyampaikan hal penting. Kufikir lebih baik aku bersiap menyambut kedatangan Bang Hari dengan kondisi yang lebih menyenangkan.

Sore itu, kuhidangkan kari bebek kesukaan Bang Hari. Ia tampak lahap menyantap sajian yang kusiapkan di meja. Hakan masih tertidur di box bayinya. Sore itu suasana rumah sangat lengang. Hanya ada kami bertiga. Asisten rumah tangga kami pun sudah izin pulang karena ia memang bekerja setengah hari saja untuk membantu urusan pakaian. Selebihnya urusan rumah aku yang tangani.

Setengah jam setelah pengakuan tentang pernikahan keduanya aku sempat menangis merutuki kebohongannya padaku. Tangis Hakan membuyarkan lamunanku. Dengan mata nanar kuangkat Hakan dari tempat tidurnya, kususui dan kutidurkan kembali. Perasaan perih menguap berganti tegar.
.
"Kania, aku akan berlaku adil padamu dan Dewi. Tidak ada yang berubah" ucapnya

"Tentu akan ada perubahan. Setidaknya perasaanku padamu." Jawabku

"Kania, please..." Mohonnya padaku.

Aku benci sekali dengan gaya mengemisnya. Rasa muak menggenapi hatiku yang penuh kebencian. Ia tahu, aku paling tidak suka ditipu. Lalu gaya memohonnya menandakan ia telah dengan sadar mengangkat permusuhan pada sikap tegas ku terhadap kebohongannya.

"Lebih baik kita berpisah saja Bang. Lepaskan aku. Aku kuatir tak bisa menjaga rasa hormat kepadamu"
Suaraku memecah kesunyian. Matanya membulat. Ia tampak tak percaya pada apa yang meluncur dari lisanku.

"Tidak Kania, jangan desak aku" jawabnya

"Baiklah, kalau kau tak juga melepasku. Aku akan bertahan menjadi istrimu. Bukan karena cinta itu masih ada. Tapi karena aku ingin menggugatmu di hadapan Tuhan dan menyaksikan engkau menemuiNya berjalan dengan tubuh yang miring sebelah"

Bang Hari menatapku dengan ekspresi berbeda. Ia tampak tersinggung aku mengumpatnya sedemikian rupa. Kepalanya tertunduk dengan desah yang dibuang paksa.

"Bismillahirrahmanirrahim, Aku bebaskan dan aku talak engkau Kania Larasati. Setelah ini engkau sudah bukan istriku " ucapnya lirih namun terdengar pasti di telingaku.

Hening.
Tak kusangka semudah ini perjalananku menjadi janda. Aku dan dia sama-sama saling hantam dengan hati penuh luka.
.
Bang Hari berlalu, menyeret kopernya yang tadi ia bawa. Sore sudah menguap berganti senja yang merah. Kudengar langkah gontai berjalan lalu menghilang bersama deru mesin yang semakin menjauh dari halaman rumahku. Bang Hari pergi dengan mobilnya, membawa kebencianku yang turut serta.

Usai menuntaskan doa dan ba'diyah Isya, gawaiku berdering. Seseorang menelpon dan mengabarkan berita duka.
Terjadi kecelakaan beruntun yang melibatkan truk dan mobil dinas double cabin di sekitar jalinsum Medan Berastagi. Dan mobil Bang Hari berada ditengah keduanya terhimpit truk yang datang dari arah berlawanan. Jenazah korban dibawa ke rumah sakit Adam Malik termasuk jenazah Bang Hari. Aku tak lagi meratapi kematian Bang Hari, sebab sebelum tubuhnya kaku di atas brankar jenazah aku telah menjadi janda.

Hingga malam ketiga kematian Bang Hari, aku masih tetap bungkam. Bukan karena aku ingin kondisi kami tetap jadi rahasia. Melainkan agar Dewi tidak mendapatkan bagiannya dengan mudah.

#Tamat
#Fiksi

16 komentar untuk "Pengakuan"

  1. Hihihi, padahal sebelum baca ini baru bahas Sinetron Suara Hati Istri lho, kisahnya khas banget, seperti kisah-kisah ini. Teruskan menulis Kak

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ha-ha-ha

      Melengkapi tren lagu ala sinetron ikan terbang nih kang

      'kumenangissss membayangkan betapa pedihnya bla bla bla'

      Makasih kang buat motivasinya

      Hapus
  2. Yaa ampun pelakor emang gak tahu diri. Bagus banget cerpennya, sampai terbawa berasa kesel sama bang Hari dan Dewi. Dinanti cerita lainnya kak.. .

    BalasHapus
  3. Aku Dejavu dengan nama Dewi. Bisa ditukar gak namanya..

    #eeeeh

    Nampaknya makin banyak nih cerpen. Keep spirit sissss

    BalasHapus
  4. Mbak, nulis cerbung...dong, di aplikasi itu lho, yang baca pasti banyak . Dirimu berbakat nih. Ceritanya mengalir
    Aku sampai kezel dibikin sama Bang Hari dan Dewi . huh!

    BalasHapus
  5. Kumenangiiiiiiissss membayangkan, betapa kejamnya dirimu atas cintaku
    hahahaha
    auto nyanyi itu mba aku kalau baca fiksi begini.
    Menarik juga kisah antara aku, dewi, dan si abang

    BalasHapus
  6. Ealaaah, kukira tadi ini kisahnya loh mbak, ternyata fiksi toh. Kubaca sampai habis dan geram juga sama si Hari. Tapi,maunya jgn meninggal dulu dia, harusnya dapat azab apa.gitu yg dia rasakan seumur hidup hingga menyesal. Ditunggu lanjutan ceritanya mbak

    BalasHapus
  7. Emang ya, pelakor itu sudah banyak skrng di dunia. Daaan , pelakor itu lebih galak dari istri pertama. Kalau dulu di era 80an istri pertama yg galak, hehehe.

    BalasHapus
  8. Endingnya memuaskannnnnn. Wkwkwkwk. Aduh ini Kania kata-katanya nyesss banget. Khas orang-orang Medan. Kuat banget.

    BalasHapus
  9. Ceritanya bagus mba endingnya dpet bngt cocok jd skenario ftv hihi..ditunggu ya cerita selanjutnya

    BalasHapus
  10. Lho Dewinya gak ikut ke Brastagi sm si Hari, harusnya ikutlah kan mau honeymoon lg ke sana, biar gak ada yg recoki bagian haha... (nyambal petir)

    Nice story, Shischa

    BalasHapus
  11. Endingnya serem mbak...di luar dugaan. Berakhir dengan kematian. Ngeri ya mb, mungkin saja bisa terjadi di dunia nyata

    BalasHapus
  12. Aduuuhhh yaa Allah, endingnya kecelakaan dooong... Aku ga sabar nunggu kelanjutannya jih. Selalu suka baca cerbung cerbung Bunda

    BalasHapus
  13. Lama g baca fiksi. Pas Baca ini kece Deh. Endingnya di luar prediksi hehe

    BalasHapus
  14. Ya Allah ... Kukira ini cerita sungguhan. Padahal udah kesel banget sama yang namanya hari. Ternyata fiksi toh. Hehehe... Keren Mbak dibuat cerbung aja.

    BalasHapus
  15. Hmmm, padahal istrinya udah berjuang utk melahirkan ya.. bersusah2 9 bulan hamil
    Tapi suaminya malah selingkuh.. suami dan dewi ini tega dah

    BalasHapus